MENTERI Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman baru-baru ini melontarkan ide yang menggugah: mengubah istilah "pelaku UMKM" menjadi "pengusaha UMKM."
Terdengar seperti perubahan sederhana, namun pada dasarnya ini adalah upaya yang dalam untuk menggeser cara pandang kita terhadap sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Namun, pertanyaannya, apakah ini sekadar kosmetika bahasa, ataukah ada komitmen nyata di balik perubahan ini?
Baca juga: Anggota DPR: Perlu Solusi Komprehensif Terkait Bunga Pinjaman Tinggi UMKM
Pandangan bahwa kata “pelaku” memberi konotasi negatif mungkin benar adanya.
Memang, istilah tersebut seolah memosisikan para pelaku UMKM sebagai subjek pasif, bukan sebagai pemimpin bisnis aktif yang membangun ekonomi.
Namun, dengan sekadar mengganti istilah, akankah stigma dan tantangan besar yang selama ini dihadapi UMKM bisa teratasi?
Jangan Sekedar Perubahan Terminologi
Tantangan yang meliputi minimnya akses permodalan, terbatasnya literasi digital, dan kompetisi pasar yang kian ketat menuntut lebih dari sekadar perubahan terminologi.
Di satu sisi, Menteri Maman menekankan bahwa UMKM dan pengusaha besar tidak berbeda dari segi sistem dan pola kerja.
Hanya saja, skala usaha yang membedakan keduanya. Pernyataan ini menggarisbawahi upaya untuk memperlakukan para pelaku usaha kecil dengan kesetaraan, bahwa mereka sama pentingnya dalam ekosistem ekonomi nasional.
Baca juga: Kebijakan Hapus Kredit Macet UMKM: Langkah Tepat atau Solusi Jangka Pendek?
Namun, realitasnya, sistem pendukung yang disediakan pemerintah selama ini justru mencerminkan perlakuan yang berbeda.
Misalnya, apakah program bantuan UMKM telah mampu menyejajarkan mereka dengan pengusaha besar dalam hal akses pasar dan daya saing?
Lebih lanjut, Menteri Maman menuntut agar PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menjadi pionir perubahan ini.
Account officer (AO) PNM, yang selama ini bertugas mendampingi dan memberikan dukungan kepada UMKM melalui program Mekaar, diminta untuk menerapkan istilah “pengusaha UMKM” dalam setiap interaksi dengan nasabah.
Langkah ini bagus, tetapi apakah PNM siap dengan kapasitas dan sumber daya untuk benar-benar memajukan UMKM ke level yang lebih tinggi?
Yang lebih penting dari sekadar sebutan adalah pendampingan intensif yang sejatinya dibutuhkan UMKM.
Program Mekaar, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kapasitas usaha dan memberikan akses permodalan, harus dievaluasi dan diperkuat.
Apakah pendampingan yang diberikan sudah cukup efektif untuk menjawab kebutuhan riil para pengusaha mikro dan kecil?
Sebagai contoh, literasi digital yang menjadi kunci dalam era ekonomi modern masih minim di kalangan UMKM.
Tanpa pelatihan dan pendampingan yang terarah, usaha kecil akan tetap tertinggal dalam persaingan.
Indonesia memiliki sekitar 65 juta pengusaha UMKM yang tersebar di seluruh pelosok.
Alih-alih sekadar menambah jumlah, tantangan sesungguhnya adalah meningkatkan level usaha mereka, menjadikan mereka benar-benar mampu bersaing dan bertahan dalam jangka panjang.
Menteri Maman menyatakan keinginan untuk mengangkat 65 juta pengusaha UMKM ke level yang lebih tinggi.
Ini adalah ambisi yang bagus, namun tanpa kebijakan yang konkret, keinginan tersebut hanya akan menjadi retorika.
Baca juga: Hapus Utang UMKM, Pengamat: Fokus ke Super Mikro dan Risiko Moral Hazard
Perubahan terminologi menjadi langkah awal, tetapi mari kita pastikan ini bukan sekadar kosmetik.
Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata melalui program-program yang tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberdayakan UMKM.
Dari akses pembiayaan yang lebih terjangkau, pendampingan bisnis yang komprehensif, hingga pelatihan yang mendorong adopsi teknologi—semua itu harus diwujudkan.
Tujuannya yang jelas agar para "pengusaha UMKM" benar-benar merasakan dampak nyata dari perubahan ini. (SG-2)