MENTERI Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki kembali menegaskan pentingnya hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan transformasi UMKM untuk mencapai visi Indonesia Emas sebagai negara maju pada tahun 2045.
Dalam acara Kompas100 CEO Forum, Teten menyebutkan bahwa untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah, struktur ekonomi dan pelaku usaha harus mengalami perubahan drastis.
Pernyataan ini menarik, namun menimbulkan pertanyaan: Apakah langkah-langkah yang disebut cukup konkret dan realistis dalam kondisi Indonesia saat ini?
Baca juga: Peparnas XVII di Solo: Gagal Memaksimalkan Potensi UMKM?
Hingga kini, mayoritas pelaku usaha di Indonesia masih berkutat di sektor usaha mikro dan kecil, dengan 97% tenaga kerja terjebak di sektor informal.
Sektor ini masih menghadapi tantangan besar berupa pendapatan yang jauh di bawah upah minimum regional (UMR).
Jika kondisi ini tidak segera diubah, sulit membayangkan bagaimana Indonesia bisa melampaui middle income trap dan meningkatkan pendapatan per kapita hingga target ambisius sebesar 30.300 dolar AS pada tahun 2045.
Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar serius dalam mempersiapkan UMKM sebagai kekuatan ekonomi, ataukah mereka hanya dianggap sebagai 'bumper ekonomi' yang muncul saat krisis?
Transformasi UMKM yang digaungkan Menkop UKM memang penting, namun sayangnya, program-program yang disampaikan kerap terdengar ambisius tanpa strategi yang jelas.
Baca juga: UMKM Binaan Pertamina Sukses di Inacraft 2024, BUMN Dorong Kebangkitan Lokal
"UMKM tidak boleh hanya dijadikan bumper ekonomi pada saat krisis dan diposisikan sebagai ekonomi subsisten," ujar Teten.
Namun, apa yang dilakukan pemerintah selama ini seakan belum cukup untuk mengangkat UMKM dari sekadar menjadi 'penopang darurat'.
Perlu ada perombakan sistemik dan kebijakan yang lebih tajam, bukan sekadar slogan atau acara seremonial.
Langkah hilirisasi yang disebutkan, misalnya melalui Rumah Produksi Bersama (RPB), terdengar seperti inisiatif yang baik.
Namun, apakah ini cukup untuk membawa industri kecil dan menengah ke level yang lebih produktif dan kompetitif?
Dalam kenyataannya, tantangan seperti keterbatasan akses teknologi, minimnya keterampilan, hingga pembiayaan yang sulit masih menjadi momok besar bagi banyak pelaku UMKM.
Bahkan Teten sendiri mengakui bahwa pembiayaan masih menjadi salah satu kendala terbesar bagi sektor ini, dan hal ini tidak akan selesai hanya dengan retorika.
"Pemerintah harus melakukan reformasi pembiayaan supaya bisa melahirkan industri kecil menengah yang benar-benar menciptakan lapangan kerja berkualitas," kata Teten.
Namun, reformasi seperti apa yang dimaksud? Kita sudah terlalu sering mendengar rencana reformasi, namun perubahan signifikan belum terasa di lapangan.
UMKM masih kesulitan mendapatkan akses pembiayaan yang ramah dan memadai, terutama bagi mereka yang ingin naik kelas menjadi usaha kecil atau menengah yang lebih mapan.
Baca juga: Aplikasi Temu dari China dan Masa Depan Suram UMKM, Apakah Regulasi Cukup Melindungi?
Lebih lanjut, kebijakan belanja 40% APBN untuk produk lokal juga disorot sebagai langkah untuk mendorong industri.
Namun, apakah kebijakan ini benar-benar dijalankan dengan ketat di lapangan? Seberapa sering produk lokal diabaikan karena keluhan atas kualitas yang belum sebanding dengan produk impor?
Tanpa perbaikan dalam sistem produksi dan kualitas barang, serta pengawasan ketat atas implementasi kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), sulit bagi produk lokal untuk bersaing.
Pada akhirnya, untuk mencapai visi Indonesia maju 2045, UMKM memang memerlukan perhatian lebih dari sekadar menjadi 'pahlawan saat krisis'.
Transformasi ini tidak bisa hanya terjadi di permukaan, tetapi harus melalui reformasi mendasar yang mencakup akses teknologi, pembiayaan yang memadai, serta ekosistem bisnis yang mendukung.
Hilirisasi sumber daya alam bisa menjadi langkah penting, tetapi UMKM juga harus disiapkan secara matang untuk menjadi bagian dari rantai pasok global yang lebih besar dan kompetitif.
Jika tidak, cita-cita menjadikan Indonesia negara maju pada 2045 akan tetap menjadi slogan belaka. (SG-2)