MASUKNYA platform e-commerce asal China, ‘Temu’, ke pasar Indonesia telah menjadi sorotan utama dalam diskusi ekonomi nasional.
Di tengah era digitalisasi yang tak terhindarkan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Moga Simatupang, menyatakan bahwa kehadiran platform-platform e-commerce asing seperti Temu memang tidak bisa dihindari.
Ini adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi dan globalisasi, di mana dunia semakin terhubung dan batas-batas perdagangan antarnegara kian kabur.
Baca juga: Kemenkop UKM dan Kemenkominfo Tolak Aplikasi 'Temu' dari China Masuk Indonesia
Namun, di balik pernyataan yang seolah normatif ini, tersimpan masalah mendasar yang sangat mengkhawatirkan—keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal yang berisiko mati perlahan.
Kehadiran Temu dengan model bisnis yang menghubungkan langsung konsumen dengan pabrik di China, tanpa perantara seperti reseller atau dropshipper, mengancam posisi UMKM.
Produk-produk murah dari pabrik China dapat dengan mudah masuk ke pasar Indonesia.
Tak hanya itu, produk-produk dari ‘Negeri Tirai Bambu’ menggempur pelaku UMKM yang tidak memiliki kapasitas untuk bersaing, baik dari segi harga maupun skala produksi.
Pernyataan Moga bahwa kita "tidak bisa menghindari" perkembangan e-commerce global mungkin benar dalam konteks teknologi.
Namun apakah itu berarti kita harus menyerah pada invasi produk asing yang dapat menghancurkan ekosistem bisnis lokal?
Inilah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pemerintah.
Baca juga: Menteri Teten Khawatir Kehadiran Aplikasi ‘Temu’ asal China Hambat Perkembangan UMKM
Sejauh ini, regulasi seperti Permendag 31 Tahun 2023 memang mengatur perizinan dan tata kelola Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Namun, regulasi semata tidak cukup jika implementasi di lapangan lemah dan pengawasan terhadap platform asing tidak dilakukan dengan ketat.
Temu, yang telah gagal tiga kali mendaftarkan mereknya di Indonesia, sedang dalam proses mendapatkan izin operasional.
Jika persyaratan dipenuhi, platform ini akan resmi masuk dan menjadi ancaman serius bagi ribuan UMKM lokal yang telah bertahan di tengah badai ekonomi.
Moga menegaskan bahwa selama Temu memenuhi persyaratan sesuai dengan Permendag 31, maka izin akan diberikan.
Pernyataan ini, meskipun terdengar prosedural, menyiratkan lemahnya perlindungan terhadap pelaku usaha lokal.
Pemerintah seharusnya tidak hanya memandang masalah ini sebagai persoalan administrasi belaka.
Masuknya platform e-commerce asing yang membawa barang murah dari luar negeri memerlukan pengawasan yang jauh lebih ketat dari sekadar pemenuhan regulasi teknis.
Sebagai regulator, Kemendag memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi pasar dalam negeri dari banjirnya produk-produk impor yang akan menghancurkan sektor UMKM yang selama ini menjadi pilar ekonomi nasional.
Seperti yang telah kita ketahui, UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia, menyerap tenaga kerja terbesar dan berperan vital dalam pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, di era globalisasi dan e-commerce lintas negara, UMKM dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks.
Ketika platform seperti Temu memungkinkan produk-produk murah dari China masuk dengan bebas ke pasar Indonesia, UMKM lokal yang kesulitan menekan biaya produksi akan semakin tersingkir.
Tentu, kita tidak bisa serta-merta menolak perkembangan teknologi dan digitalisasi.
Baca juga: Pinduoduo Inc, Raksasa E-Commerce China di Balik Kesuksesan Aplikasi 'Temu'
Namun, pemerintah harus lebih proaktif dalam menata regulasi yang tidak hanya menguntungkan platform asing, tetapi juga memberikan perlindungan nyata bagi UMKM.
Moga Simatupang menyebut bahwa tata kelola dan pengawasan perdagangan elektronik akan diatur sedemikian rupa agar industri dalam negeri tetap bisa bersaing.
Namun, bagaimana caranya UMKM dapat bersaing ketika mereka harus melawan produk impor yang secara harga dan skala produksi jauh lebih murah dan masif?
Kemendag perlu merumuskan kebijakan yang lebih responsif terhadap ancaman yang dihadapi UMKM.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memberikan dukungan lebih besar bagi UMKM untuk bertransformasi ke digital.
Namun, dukungan semata tidak akan cukup tanpa adanya perlindungan terhadap produk lokal.
Baca juga: Ancam Produk UMKM, Kemendag Larang Aplikasi Temu dari China Beroperasi di Indonesia
Indonesia harus belajar dari negara-negara lain yang sukses menjaga keseimbangan antara keterbukaan ekonomi digital dan proteksi terhadap industri dalam negeri.
Jika pemerintah tidak bertindak cepat dan tegas, masa depan UMKM bisa berada di ujung tanduk.
Platform seperti Temu hanya akan menjadi satu dari sekian banyak e-commerce asing yang datang dengan membawa produk impor murah, sementara pelaku UMKM kita semakin terpinggirkan.
Ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa perkembangan teknologi tidak boleh dibayar dengan kehancuran ekonomi lokal.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi sektor UMKM agar tetap menjadi pilar kuat perekonomian Indonesia di tengah serbuan globalisasi. (SG-2)