Soko Kreatif

Hari Batik Nasional: Mengenal Filosofi dan Nilai Budaya di Balik Motif Batik

Generasi muda harus lebih dari sekadar mencintai batik. Mereka harus memahami proses pembuatannya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan perbedaan antara batik asli (tulis) dengan batik printing. 
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
04 Oktober 2024
Putri Urfanny Nadhiroh, CEO dan Founder Shibotik, dalam sesi talk show bertajuk Batikologi: Menemukan Identitas Diri Melalui Motif Tradisional yang digelar dalam rangkaian perayaan Hari Batik Nasional (HBN) 2024 di Mall Kota Kasablanka, Jakarta, pada Rabu (2/10). (Dok. tangkapan layar Sokoguru/Fajar Ramadan)
 

LEBIH dari sekadar kain bermotif, batik yang kita kenakan merupakan sebuah seni yang sarat dengan filosofi, nilai budaya, dan makna kehidupan. Setiap motif batik mengandung cerita, ajaran hidup, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

 

Pendapat itu disampaikan  Putri Urfanny Nadhiroh, CEO dan Founder Shibotik, dalam sesi talk show bertajuk Batikologi: Menemukan Identitas Diri Melalui Motif Tradisional yang digelar dalam rangkaian perayaan Hari Batik Nasional (HBN) 2024 di Mall Kota Kasablanka, Jakarta, pada Rabu (2/10).

 

“Batik adalah proses, bukan sekadar produk akhir. Proses ini melibatkan teknik celup rintang yang menggunakan lilin panas sebagai perintangnya, dan kainnya harus berbahan serat alami,” jelas perempuan yang akrab dipanggil Putri Komar itu lewat siaran langsung kanal YouTube Kemenperin.

 

Baca juga: Hari Batik Nasional 2024: Momentum Bangga Berbatik dan Pelestarian Batik Gedog Tuban

 

Bilamana proses tersebut tidak dilakukan dengan lilin panas dan perintang yang tepat, tegasnya, kain tersebut bukanlah batik asli. Menurutnya, batik merupakan warisan budaya yang sangat kaya, dan setiap coraknya memiliki nilai estetika, budaya, dan filosofi yang mendalam. 

 

Salah satu contoh yang diangkat Putri adalah motif parang, yang memiliki makna kekuatan dan keteguhan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. 

 

“Motif parang itu melambangkan ketajaman akal dan kekuatan dalam menghadapi tantangan. Motif itu tidak hanya indah secara visual, tetapi juga mengandung doa dan harapan bagi si pemakainya,” tambah Putri.

 

Baca juga: Batik Garutan: Warisan Budaya yang Tetap Eksis di Tengah Arus Globalisasi

 

Ia juga menjelaskan bahwa beberapa motif batik, terutama yang berasal dari keraton, memiliki aturan ketat atau pakem. Motif-motif itu hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu, terutama keluarga bangsawan atau keraton.

 

 "Di Yogyakarta dan Solo, ada motif-motif khusus seperti parang rusak atau udan liris yang hanya boleh digunakan oleh keluarga keraton. Pakem itu menjaga keunikan dan kehormatan dari motif-motif tersebut," katanya.

 

Dalam sesi tersebut, Putri juga menyoroti perbedaan antara batik keraton dan batik pesisiran. Menurutnya, batik keraton cenderung memiliki warna-warna yang kalem dan sederhana, seperti sogan atau biru tua, sedangkan batik pesisiran lebih terbuka terhadap pengaruh luar dan menggunakan warna-warna cerah serta motif lebih dinamis. 

 

Baca juga: Meyakini Kepala Selalu di Depan, Perajin Batik Jepara tidak Takut Karyanya Diplagiat

 

"Batik pesisiran seperti Pekalongan atau Lasem terkenal dengan warna-warna cerahnya, karena masyarakat pesisir lebih terbuka terhadap pengaruh budaya dari luar. Mereka menggabungkan estetika dan nilai filosofis dalam motif batik mereka," jelas Putri lagi.

 

Selain nilai estetika dan filosofi, batik juga memiliki nilai sejarah yang kuat. Putri mengungkapkan beberapa motif batik dibuat untuk menggambarkan peristiwa bersejarah, seperti batik kemerdekaan atau batik Hokokai yang diciptakan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. 

 

“Batik ini bukan hanya sebuah karya seni, tetapi juga sebuah catatan visual dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah bangsa kita,” ujarnya.

 

Namun, Putri menegaskan bahwa batik bukan hanya sekadar kenangan masa lalu. Nilai-nilai yang terkandung dalam batik tetap relevan dengan kehidupan modern saat ini.

 

 “Meskipun nilai-nilai yang ada di dalam motif batik berasal dari masa lalu, ajaran kehidupan, petuah, dan filosofi yang terkandung di dalamnya masih bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari,” jelasnya. 

 

Hal inilah yang membuat batik tetap hidup dan terus berkembang meski zaman sudah berubah. 

 

Ajak generasi muda

Lebih lanjut, Putri mengajak generasi muda untuk lebih memahami dan mencintai batik. Menurutnya, salah satu cara terbaik untuk melestarikan batik adalah dengan mempelajari proses pembuatan dan memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap motifnya. 

 

“Generasi muda harus lebih dari sekadar mencintai batik. Mereka harus memahami proses pembuatannya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan perbedaan antara batik asli (tulis) dengan batik printing. Hanya dengan cara ini kita bisa benar-benar menghargai dan melestarikan batik sebagai warisan budaya bangsa,” katanya.

 

Selain itu, Putri menambahkan, batik juga memainkan peran penting dalam roda perekonomian, terutama di sektor industri kreatif. Batik yang diproduksi oleh para pengrajin lokal menjadi salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. 

 

"Batik tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga nilai ekonomi yang besar. Produk batik Indonesia sudah diakui di pasar internasional, dan ini menjadi salah satu sumber pendapatan bagi banyak pengrajin di daerah," ujarnya.

 

Putri  menyoroti inovasi teknologi dalam pembuatan batik tetap dibutuhkan, namun teknologi tidak dapat menggantikan sentuhan tangan perajin batik. 

 

“Teknologi memang bisa membantu dalam hal efisiensi, tetapi sentuhan tangan manusia dalam membuat batik tetap tidak tergantikan. Setiap goresan canting yang dibuat oleh pengrajin memiliki nilai yang tidak bisa digantikan oleh mesin,” tuturnya.

 

Talk show tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan Hari Batik Nasional yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia. 

 

“Batik bukan sekadar kain, tetapi identitas bangsa yang harus kita jaga dan lestarikan. Melalui acara ini, kami berharap semakin banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajari, mengenakan, dan mempromosikan batik di kancah internasional,” tutup Putri. (Fajar Ramadan/ SG-1)