Humaniora

Watimin, Sang Petualang, Berjalan Kaki Keliling Indonesia Demi NKRI

Pada Sabtu sore (21/9), Watimin terlihat melintasi Jalan Cibening, Purwakarta, Jawa Barat, membawa sebuah spanduk besar yang bertuliskan pesan nasionalisme: "NKRI Harga Mati." 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
22 September 2024
Pada Sabtu sore (21/9), Watimin, sang petualang jalan kaki, terlihat melintasi Jalan Cibening, Purwakarta, Jawa Barat, membawa sebuah spanduk besar yang bertuliskan pesan nasionalisme: "NKRI Harga Mati."  (SG-2)

DI tengah hiruk-pikuk kehidupan kota besar dan laju kendaraan yang tak pernah berhenti, ada satu sosok yang menarik perhatian. 

 

Seorang pria berusia 41 tahun bernama Watimin, asal Cilacap, Jawa Tengah, memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang. 

 

Sejak tahun 2016, Watimin telah menginjakkan kakinya di banyak daerah di Indonesia dengan misi yang jelas: menyebarkan semangat cinta Tanah Air dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Baca juga: Temu Brand Lokal di SMESCO Dorong Nasionalisme Konsumen

 

Pada Sabtu sore (21/9), pria ini terlihat melintasi Jalan Cibening, Purwakarta, Jawa Barat, membawa sebuah spanduk besar yang bertuliskan pesan nasionalisme: "NKRI Harga Mati." 

 

Spanduk tersebut bukan sekadar hiasan, melainkan pernyataan tegas dari misinya yang ia usung sepanjang perjalanan. 

 

Di spanduk lain yang ia bawa, tertulis pula kalimat yang tak kalah menggugah: "Jalan Kaki Keliling Indonesia, Misi Cinta Tanah Air, Cinta NKRI, Merah Putih, Garuda Indonesia."

 

Meski telah menempuh perjalanan ribuan kilometer, Watimin tetap penuh semangat. Tak terlihat lelah di wajahnya, meskipun kulitnya sudah mulai terbakar terik matahari.

 

Saat wartawan Sokoguru.id bertemu dengannya di Purwakarta, Jabar, Watimin berbicara dengan penuh keyakinan. 

 

Baca juga: Kekompakan Jaga Pancasila dan NKRI Bawa Indonesia Melompat Menjadi Negara Maju

 

"Demi NKRI, saya tetap bersemangat berjalan kaki keliling Indonesia," ujarnya, sambil sesekali melirik sandal yang menjadi satu-satunya alas kaki selama perjalanannya.

 

Dikenal, Tapi Juga Dicibir

 

Selama perjalanannya, Watimin telah menarik perhatian banyak orang. Sosoknya kerap disorot media dan dianggap sebagai simbol perjuangan cinta NKRI.

 

 Namun, di balik pengakuan itu, ia juga menghadapi cemoohan. Bagi sebagian orang, tindakannya dianggap tidak masuk akal.

 

"Tidak sedikit yang menganggap saya gila," ungkapnya sambil tersenyum, seraya menyilangkan jari telunjuknya di depan dahi, mengisyaratkan gestur 'orang tak waras'. 

 

Namun, bagi Watimin, hinaan dan cibiran tidak akan menghentikannya. Baginya, misinya lebih besar daripada sekadar pandangan orang lain. 

 

Baca juga: Program Inovatif ‘For Your Pancasila’ Tanamkan Nilai Pancasila pada Kreator Konten

 

Semangat yang ia usung adalah untuk mengobarkan cinta NKRI di hati setiap orang yang ia temui di sepanjang perjalanan.

 

Bertahan di Tengah Kesederhanaan

 

Dengan ransel di punggungnya dan peci merah-putih yang selalu ia kenakan, Watimin telah melewati berbagai pengalaman manis dan pahit. 

 

"Sukanya banyak yang memberi semangat, kadang ada yang memberi bekal, dari makanan hingga uang saku," ujarnya, penuh rasa syukur.

 

Namun, bekal utama selama perjalanannya bukanlah makanan atau uang, melainkan kebaikan hati orang-orang yang ia temui. 

 

Watimin seringkali bermalam di kantor-kantor polisi setempat atau Komando Distrik Militer (Kodim), di mana ia diberi tempat istirahat dan terkadang bekal untuk melanjutkan perjalanannya. 

 

"Saya kerap mendapatkan tempat berteduh di sana, dan diberi bekal juga," tambahnya.

 

Semangat Tak Pernah Padam

 

Hari itu, saat melintasi Purwakarta, Watimin baru saja memulai perjalanannya dari Jakarta dengan tujuan Bandung. 

 

Dengan langkah yang mantap, ia terus menatap ke depan, seolah-olah ribuan kilometer yang sudah dilaluinya hanyalah awal dari perjalanan panjangnya. 

 

"Demi NKRI, saya tidak akan berhenti," tutupnya penuh keyakinan.

 

Watimin adalah cerminan semangat pantang menyerah, simbol kecintaan pada Tanah Air, yang tak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dengan tindakan nyata. 

 

Di tengah zaman yang semakin individualistis, kehadirannya mengingatkan kita bahwa cinta pada negeri tidak selalu harus diwujudkan dalam hal-hal besar—terkadang, cukup dengan langkah kaki dan semangat yang tak pernah padam.(SG-2)