Humaniora

Dampak Proyek PLTU di Jabar: Warga Kehilangan Lahan, ISPA Meningkat, hingga Deforestasi

Pemerintah daerah tak bisa mengintervensi proyek PSN yang digarap pusat. Pasalnya, proyek itu dirancang sejak 2016 untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali. 
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
05 Februari 2025
Aliansi Jurnalis Independen bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar dan LBH Bandung dalam diskusi kampanye bertajuk Sorotan PSN PLTU di Jawa Barat di Gedung Indonesia Menggugat, Senin (3/2). (Dok. Sokoguru/Fajar Ramadan)

PROYEK Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jawa Barat (Jabar) dinilai mengabaikan hak warga, memicu krisis kesehatan, dan merusak lingkungan. 

 

Setidaknya lima PLTU beroperasi di Jabar, termasuk PLTU Pelabuhan Ratu (Sukabumi), PLTU 1 Indramayu, dan PLTU 1-2 Cirebon. Dua proyek lain—PLTU 2 Indramayu (2.000 MW) dan PLTU Tanjung Jati A, masih digugat masyarakat karena izin lingkungan dianggap cacat hukum. 


Hal itu disampaikan Direktur LBH Bandung, Heri Pramono dalam diskusi kampanye bertajuk Sorotan PSN PLTU di Jawa Barat di Gedung Indonesia Menggugat, Senin (3/2).

 

Baca juga: PT SIG Perkenalkan Green Cement, Solusi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

 

Dalam diskusi tersebut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengungkap sejumlah fakta dampak buruk proyek energi tersebut.  

 

“Pembangunan PLTU Indramayu merusak lingkungan, mengancam kesehatan, dan mengganggu kehidupan petani di kawasan Patrol,” ujarnya.  

 

Gugatan hukum diajukan ke PTUN Jakarta setelah izin PLTU 2 Indramayu dikeluarkan tanpa melibatkan partisipasi warga. Padahal, lokasinya hanya berjarak 3 km dari PLTU Indramayu 3x330 MW yang sudah beroperasi. 

 

Baca juga: Dugaan Pencemaran Lingkungan oleh PT IWIP, DPR RI Desak Investigasi Mendalam

 

“Masyarakat tak diberi informasi, apalagi dilibatkan dalam proses Amdal,” imbuh Heri.  


Ancam Kesehatan 

Dampak kesehatan akibat PLTU semakin nyata. Walhi Jabar menemukan tren Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indramayu melonjak drastis, terutama pada anak usia 2-7 tahun dan lansia. 

 

“Puskesmas enggan mengaitkan ini dengan abu PLTU, tetapi fakta di lapangan jelas, polusi dari PLTU adalah sumbernya,” ujar Direktur Walhi Jabar, Wahyudin.  

 

Baca juga: DPR Bahas Masalah PHK di Freeport dan Kerusakan Lingkungan di Bangka Belitung

 

Tak hanya itu, sambungnya, nelayan di Indramayu dan Cirebon juga kehilangan akses tangkapan ikan karena pembangunan PLTU. Di darat, lahan produktif warga dirampas paksa untuk proyek ini.

 

“PSN ini bukan sekadar merusak lingkungan, tapi juga merampas hak asasi manusia,” tegas Wahyudin.  

 

Walhi juga menilai kebijakan co-firing (pencampuran biomassa dengan batubara) di PLTU. Meski diklaim ramah lingkungan, implementasinya justru memicu deforestasi. Dari riset lapangan, proyek Hutan Tanaman Energi untuk biomassa berpotensi merusak 1 juta hektare (ha) hutan dan memicu konflik lahan. 

 

Dok. Greenpeace

“Contohnya di Sukabumi, pembibitan tanaman energi tahun 2022 kini ditinggalkan. Ini kebijakan yang tidak partisipatif,” papar Wahyudin.  


Hanya di atas kertas

 Sementara itu, akademisi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Erri Megantarayang tergabung dalam tim kajian lingkungan DLH Jabar, menyebut, masalah utama PSN bukan di proyeknya, melainkan pada pengabaian prosedur. 

 

“Dari Amdal hingga ganti rugi, negara seolah absen. Jika sejak awal proyek transparan, tak akan ada protes warga,” katanya.  

 

Meski Amdal kerap memuat rencana mitigasi, Erri mengakui, implementasinya kerap diabaikan.  “Kami di tim penilai hanya mengecek dokumen. Pelaksanaannya di lapangan di luar kewenangan kami,” ujarnya.  


Analis Ketahanan Energi ESDM Jabar, Arnold Mateus, menambahkan, pemerintah daerah tak bisa mengintervensi proyek PSN yang digarap pusat. Pasalnya, proyek itu dirancang sejak 2016 untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali. 

 

“Saat ini, pemerintah pusat sedang meninjau ulang kebijakan energi, termasuk potensi teknologi carbon capture storage (CCS) di PLTU,” jelasnya.  

 

Namun, Arnold mengakui CCS masih mahal dan belum diterapkan luas. “Sebenarnya, teknologi pengendalian emisi dasar di cerobong PLTU bisa dioptimalkan dulu,” ujarnya.  

 

Kampanye ini didukung Yayasan Kurawal dan Tempo Witness, dihadiri 70 peserta dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan masyarakat terdampak. Data Walhi menyebut emisi dari PLTU di Jabar mencapai 26,48 juta ton, dengan 70% pencemaran berasal dari PLTU Indramayu dan Cirebon.  (Fajar Ramadan/SG-1)