SEORANG pebisnis perlu melakukan diagnosis terhadap bisnis yang dijalankannya, meski telah menghasilkan omzet. Tidak jarang seorang pebisnis mengibaratkan brand atau jenamanya sebagai anak kandung, sebab dengan cara itu pebisnis akan sepenuh hati, waktu, dan perhatian terhadap bisnis yang dijalankannya.
Permasalahan modal dan strategi ekspansi pasar menjadi bahasan paling sering diabstraksikan. Permasalahan modal terkait cara pelaku usaha mampu memetakan strategi ekspansi pasar berdasarkan value chain yang dimiliki dan akan dibenahi.
Demikian beberapa poin bahasan dalam acara Couching bjbpreneur bank bjb yang digelar selama tiga jam secara daring, pada Kamis (18/4) pagi.
Baca juga: 100 UMKM Terbaik Ikuti Coaching bjbPreneur Bank bjb
Sebanyak 50 pelaku usaha yang terlibat dalam couching tersebut, terbagi ke dalam kelompok Kreatif A yang di-couching oleh Rama Dhonanto, Kerajinan A oleh Bambang Irawan, Kerajinan B oleh Robby Lasman, Pertanian A oleh Affryan Palao, Kuliner A oleh MN Fannie Prasetyo, dan Kuliner B oleh Lika Satvarini.
Dalam format diskusi dua arah itu pelaku usaha berkonsultasi dengan couch mereka. Diantara para couch ada pula yang takjub dengan bisnis mereka dan tertarik pada potensi yang dapat dikembangkan oleh pelaku usaha. Dan dapat menggali berbagai kemungkinan pengembangan bisnis yang strategis dan konseptual.
“Ada perbedaan mendasar antara couching atau training. Couching itu merupakan praktik komunikasi dua arah yang tujuannya memberi arahan, action plan, saran pengembangan, dan bahkan membongkar permasalahan bisnis yang sedang berjalan,” ujar Couch Rama Dhonanto kala membuka gelaran couching.
Baca juga: 500 UMKM Terpilih Mengikuti Riset Pasar dalam Bootcamp bjbPreneur 2024
Ia berharap dalam gelaran coaching itu para pelaku usaha aktif dan informatif serta jujur menjelaskan bisnis yang dijalankan. Upaya tersebut dapat menjadi acuan couch dalam memberi saran serta memberikan rancangan action plan yang harus dilakukan untuk membuat bisnis yang berjalan naik kelas.
Abdus Syakur, pemilik jenama Yukafi yang bergerak di bidang fesyen menceritakan hasil diagnosis bisnisnya pada sesi diskusi kelompok kreatif A.
“Yang paling lemah, saya membangun melalui digital marketing (pemasaran digital) , saya menggunakan meta, dan lama kelamaan stuck karena tidak bisa berkembang dari masa itu. Dari pertama kali berusaha, ada peningkatan terus menerus, sampai di tahun kedua saya stuck di omzet Rp 25 juta perbulan, yang saya tidak paham budget yang dikeluarkan sama. Sampai masuk ke tahun kedua, rata-rata flat ada kenaikan dan penurunan, saat itu tidak ada pertumbuhan, akhirnya saya hentikan iklan secara total. Orderan tetap konsisten dengan omzet yang sama sampai hari ini,” tuturnya.
Baca juga: Beda dengan Berdagang, Saatnya Bisnis Berjangka Panjang
Dalam kesempatan yang sama di kelompok tersebut, Richard Owen pemilik jenama Nyongstyle yang juga bergerak di bidang fesyen dengan mengedepankan penggabungan etnik dan modern mengaku bahwa dirinya sulit mengekspansi pasar digital.
“Berbeda kalau saya berpartisipasi dalam event 3-5 hari omzet yang diraih bisa mencapai Rp 50 juta. Dengan produk yang tergolong niche dan out of the box ketika memasuki lokapasar (marketplace) kebanting dengan produk-produk yang harganya lebih murah,” jelasnya.
Menanggapi itu, Rama menyarankan Owen mesti melakukan strategi untuk meng-influence pasar dengan memberinya edukasi, output yang bisa berupa konten. Selain itu, langkah yang bisa dilakukan adalah mencari benchmark produk yang memiliki semangat serupa dan telah sukses. Dari kesuksesan mereka kita mesti connect dengan foundernya sehingga pemecahan masalah itu bisa signifikan terselesaikan.
Permodalan dan ekspansi pasar
Dalam kelompok pertanian A, terdapat pernyataan yang menohok ketika coach Afryan Palao mendengarkan permasalahan yang dihadapi oleh Muhammad Febriyansah Putra pemilik jenama Juragan Cangkang Telur.
“Saya memanfaatkan cangkang telur untuk mengambil membran kolagen yang terdapat di dalamnya. Memang saya awalnya mengetahui bisnis ini dari yang dilakukan di Amerika, mereka menemukan bahwa cangkang telur bisa menghasilkan kolagen yang bermanfaat bagi kesehatan persendian, anti aging, dan perawatan kesehatan rambut,” ujarnya.
Permasalahannya, sambung Febri, untuk sekarang produksi hanya mencapai 10 kg perhari. Untuk kapasitas permintaan ia mengaku ingin meningkatkan produksi, karena permintaan untuk kolagen banyak sehingga ia membutuhkan mesin.
“Sekarang kita ubah polanya, semisal saya sebagai investor bertanya kenapa saya harus memberikan modal? Di sini, kan kita harus memberitahu strategi ekspansi pasarnya seperti apa? Tentu investor pun ingin mendapatkan rasa aman dengan hadirnya strategi-strategi yang kita rencanakan,” ujar coach Afryan Palao, menanggapi Febri.
Value chain, sambungnya, menjadi instrumen yang harus dibenahi seideal mungkin sehingga ketika nantinya bertemu dengan seorang investor bisnis kita memiliki berbagai hal yang menjamin investor bahwa target yang diciptakan akan berjalan on the track.
Dalam coaching tersebut, para pelaku usaha diberikan tugas untuk menyusun action plan berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh bisnis yang telah berjalan tersebut. Upaya ini menjadi bagian komitmen bank bjb untuk mengupayakan para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk dapat naik kelas dan bersaing baik secara nasional maupun internasional. (Faj/SG-1)