Soko Bisnis

Pajak E-Commerce dan Ancaman Kaburnya UMKM dari Ruang Digital

Penerapan PPh 0,5% UMKM di e-commerce menuai protes. Tanpa kesiapan infrastruktur dan dialog inklusif, kebijakan ini berisiko menimbulkan kontra produktif.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
01 Juli 2025
<p>Pemerintah tengah bersiap mengubah mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk transaksi di e-commerce. (Dok.Istock)</p>

Pemerintah tengah bersiap mengubah mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk transaksi di e-commerce. (Dok.Istock)

SOKOGURU – Pemerintah tengah bersiap mengubah mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk transaksi di e-commerce. 

Dalam skema baru ini, lokapasar atau marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. 

Besaran pajak yang ditetapkan adalah 0,5 persen, tarif yang secara nominal tampak kecil, tetapi tidak serta-merta ringan bagi seluruh pelaku usaha.

Baca juga: Anggota DPR RI Tolak Pajak Tinggi Rumah Tapak, Rakyat Makin Sulit Punya Hunian!

Kebijakan ini menuai protes keras dari pelaku UMKM, khususnya yang berjualan secara daring. 

Media sosial menjadi saluran ekspresi keresahan para pelaku usaha kecil yang merasa dikejutkan oleh keputusan sepihak. 

Kritik utamanya bukan pada pajaknya, melainkan pada ketidaksiapan sistem dan ketimpangan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan.

Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM digital masih gagap terhadap sistem perpajakan berbasis platform. 

Apalagi infrastruktur yang mendukung transparansi dan kemudahan pelaporan masih belum merata. 

Baca juga: Kenaikan PPN Jadi 12% Mulai 1 Januari 2025, Ini Barang dan Jasa yang Terkena Pajak

Jika kebijakan ini dipaksakan tanpa dukungan teknis dan edukasi memadai, maka konsekuensinya bisa sangat serius: pelaku usaha digital kecil bisa hengkang dari platform digital dan kembali ke sistem konvensional. 

Ini justru memundurkan semangat digitalisasi ekonomi yang telah dikampanyekan selama ini.

Kebijakan ini memang tidak menciptakan pajak baru, melainkan mengubah skema dari pembayaran mandiri menjadi pemungutan otomatis oleh marketplace

Namun, pergeseran ini tidak boleh dianggap remeh. Marketplace bukanlah lembaga negara, dan menjadikan mereka sebagai “agen pemungut pajak” tanpa infrastruktur dan kejelasan tanggung jawab akan menimbulkan kekacauan administratif. 

Potensi tumpang tindih data, kesalahan pemungutan, hingga penggandaan beban pajak sangat mungkin terjadi, terutama pada pelaku usaha yang berdagang lintas platform.

Baca juga: Pentingnya Kepastian Kebijakan Pajak bagi UMKM: Antara Harapan dan Realita

Di sisi lain, pemerintah memang memiliki urgensi untuk menertibkan sektor digital yang selama ini menjadi bagian dari shadow economy—yakni kegiatan ekonomi sah yang tidak tercatat dalam sistem formal. 

Potensi penerimaan negara dari sektor ini sangat besar, dan memperbaiki administrasi perpajakan merupakan langkah rasional. 

Namun, langkah itu harus ditempuh secara inklusif, bertahap, dan berbasis dialog.

Sayangnya, pendekatan yang dilakukan masih elitis. Dialog kebijakan lebih sering melibatkan asosiasi pengusaha menengah ke atas, seperti Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia).

Suara Plaku Mikro Perlu Didengar

Sementara suara pelaku mikro yang menjadi ujung tombak ekonomi digital justru luput dari meja diskusi. Padahal, merekalah yang paling terdampak secara langsung oleh kebijakan ini. Pemerintah perlu lebih peka. 

Edukasi perpajakan tidak cukup hanya dalam bentuk siaran pers atau media sosial. Dibutuhkan ekosistem pendukung: pelatihan teknis, dashboard pelaporan yang ramah pengguna, serta integrasi data yang akurat dan aman. 

Jika tidak, bukan hanya pemasukan negara yang terganggu, tetapi juga keberlanjutan UMKM digital yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja dan motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Lebih dari sekadar menambah pundi penerimaan negara, pajak seharusnya menjadi alat distribusi keadilan dan penguatan usaha kecil. 

Jika pelaku usaha merasa tidak memperoleh manfaat apapun dari kewajiban perpajakan mereka, maka kepercayaan publik terhadap negara perlahan akan luntur. Dan ini lebih berbahaya daripada kehilangan pajak itu sendiri.

Pemerintah harus memilih: menertibkan dengan bijak, atau kehilangan dukungan para pejuang ekonomi digital. (Opini/Deri Dahuri)