DI tengah maraknya digitalisasi dan booming e-commerce di Indonesia, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mulai merasakan ancaman yang kian nyata.
Produk-produk impor dari China dengan harga sangat murah terus membanjiri marketplace, menciptakan persaingan tak seimbang yang semakin sulit diatasi oleh UMKM lokal.
Fenomena predatory pricing—taktik penurunan harga secara tidak wajar untuk mengalahkan pesaing—menjadi ancaman besar bagi kelangsungan usaha kecil di Indonesia.
Baca juga: Menteri Teten Khawatir Kehadiran Aplikasi ‘Temu’ asal China Hambat Perkembangan UMKM
Dalam beberapa bulan terakhir, barang-barang dari China mengalir deras ke pasar digital Indonesia.
Banyak di antaranya bahkan dijual dengan harga yang sangat rendah, membuat produk lokal terdesak.
Di satu sisi, kemudahan akses ke pasar global melalui platform e-commerce memang memberi keuntungan besar bagi konsumen.
Namun, di sisi lain, bagi pelaku UMKM lokal, hal ini terasa seperti badai yang menghancurkan.
Dampak Langsung bagi UMKM
Radiva, 22, seorang pengusaha aksesori asal Bandung, adalah salah satu pelaku UMKM yang langsung terkena dampaknya.
Dalam tiga bulan terakhir, omzet bisnisnya yang biasanya mencapai Rp25 juta per bulan anjlok hingga 60%.
Baca juga: Hadapi Serbuan Produk Impor, Kemenkop UKM Dorong Pameran Produk UMKM Lokal
Penyebab utamanya? Produk aksesori serupa dari China yang dijual jauh di bawah harga pasaran.
"Dulu waktu masih ada aturan ketat soal toko luar negeri, saya pernah beli bahan dari China. Sekarang toko yang sama muncul lagi, tapi dengan alamat di Tangerang," kata Radiva saat diwawancarai dengan Sokoguru.id baru-baru ini.
Harga produk impor tersebut, yang bisa mulai dari Rp10.000, membuat produk lokal sulit bersaing. "Tidak masuk akal untuk menutup biaya produksi kalau harga bahan baku segitu murah," tambahnya.
Ini bukan soal kualitas, tetapi soal harga yang jauh di bawah standar. Produk-produk China tersebut dijual dengan harga yang membuat produk lokal terhimpit—dan pelaku UMKM menjerit.
Masalah Sistemik: Barang Ilegal dan Predatory Pricing
Di balik fenomena ini, ada masalah yang lebih besar: predatory pricing dan kemungkinan adanya barang-barang impor ilegal.
Radiva mempertanyakan bagaimana barang-barang China bisa dijual dengan harga yang sangat rendah.
"Saya pernah beli bahan dari China, dikenakan bea cukai Rp68.000 untuk barang seberat 300 gram. Tapi, kok produk yang sama bisa dijual di marketplace dengan harga super murah?" tuturnya.
Hal ini memunculkan kecurigaan apakah produk-produk tersebut melalui jalur yang legal atau ada pelanggaran regulasi.
Polemik ini semakin mencuat dengan munculnya sebuah video di TikTok oleh akun @pejuanggumkm, yang menunjukkan seorang WNA asal China bernama K Jiang tengah memamerkan gudang di Tangerang yang penuh dengan produk-produk China.
Baca juga: Pinduoduo Inc, Raksasa E-Commerce China di Balik Kesuksesan Aplikasi 'Temu'
Video ini semakin menguatkan kekhawatiran bahwa barang impor China semakin mendominasi pasar, tak hanya melalui jalur resmi, tetapi juga dengan cara-cara yang tidak sesuai regulasi.
Pemerintah Perlu Bertindak Lebih Tegas
Pada 17 Juli 2024, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia membentkj Satgas Pengendalian Barang Impor Ilegal yang bertujuan untuk melindungi UMKM lokal dari serbuan produk asing yang tidak sesuai dengan standar.
Namun, dengan banyaknya produk China yang masih membanjiri marketplace, efektivitas kerja Satgas ini patut dipertanyakan.
Para pelaku UMKM merasa bahwa perlindungan yang diberikan pemerintah belum cukup tegas.
"UMKM sedang didorong untuk naik kelas, tapi kalau predatory pricing terus terjadi, kapan kita bisa benar-benar berkembang?" kata Radiva.
Ia, seperti banyak pelaku UMKM lainnya, berharap pemerintah mengambil tindakan nyata untuk menegakkan aturan dan melindungi produk lokal.
Membangun Ekosistem yang Lebih Sehat
UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, dan saat ini mereka tengah berjuang di medan yang tidak seimbang.
Tanpa pengawasan yang ketat terhadap barang impor ilegal dan tindakan tegas terhadap praktik predatory pricing, pelaku usaha kecil akan terus terhimpit.
Kinerja Satgas Pengendalian Barang Impor Ilegal perlu ditingkatkan, dan kolaborasi antara pemerintah, marketplace, serta para pelaku UMKM harus diperkuat agar persaingan yang terjadi di pasar lebih adil.
Perlindungan terhadap UMKM bukan hanya soal menjaga keberlangsungan usaha mereka, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Di tengah badai produk impor yang terus menyerbu pasar, para pelaku UMKM berharap pada kebijakan yang lebih jelas dan efektif, agar mereka bisa terus bersaing dan mengembangkan bisnis mereka.
Tanpa tindakan nyata, fenomena banjir barang impor dari China ini bisa mengancam keberlangsungan ekonomi lokal.
Sudah saatnya pemerintah, pelaku pasar, dan konsumen bersatu untuk menjaga keseimbangan pasar dan memastikan bahwa UMKM membutuhkan dukungan dan perlindungan dari gempuran produk impor China yang harganya tak wajar. (Fajar Ramadan/SG-2)