SOKOGURU, PERSIB - Di tengah derasnya arus konten digital yang kerap melampaui batas etika, publik kembali dihadapkan pada persoalan sensitif tentang identitas, martabat, dan tanggung jawab di ruang maya. Ketika ekspresi personal bersinggungan dengan harga diri kelompok, dampaknya tak berhenti di layar gawai, tetapi merambat ke ranah sosial dan hukum. Inilah konteks yang kini mengiringi sikap tegas Viking Persib Club dalam mengawal kasus dugaan penghinaan suku Sunda.
Kasus dugaan penghinaan suku Sunda yang menyeret YouTuber Resbob atau Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan masih terus bergulir di Polda Jawa Barat. Viking Persib Club (VPC) sebagai pelapor menegaskan tidak ada ruang kompromi dalam perkara ini, termasuk wacana perdamaian atau pencabutan laporan.
Bagi VPC, perkara tersebut bukan sekadar respons emosional terhadap konten digital, melainkan sikap prinsipil dalam menjaga marwah identitas budaya. Mereka menilai proses hukum harus tetap berjalan agar menjadi pembelajaran publik tentang batas kebebasan berekspresi di ruang digital.
Sikap itu ditegaskan langsung oleh kuasa hukum VPC, Ferdy Rizky Adilya, yang memastikan laporan kliennya tetap aktif dan tidak akan dihentikan di tengah jalan.
"Intinya perkara masih berjalan di Polda Jabar, saya sebagai pelapor tetap lanjut, tak ada perdamaian dan cabut laporan," kata pengacara VPC, Ferdy Rizky Adilya.
Pernyataan tersebut sekaligus menutup spekulasi yang sempat berkembang di publik soal kemungkinan penyelesaian damai. VPC menilai penyelesaian informal justru berpotensi mengaburkan pesan penting tentang tanggung jawab hukum dalam produksi konten.
Selain memastikan proses hukum berlanjut, pihak pelapor juga bersiap menjalani agenda pemeriksaan lanjutan. Ferdy menyebut dirinya akan diperiksa sebagai saksi pelapor dalam waktu dekat oleh penyidik Polda Jawa Barat.
Menariknya, perkara ini tidak berhenti pada satu nama. VPC secara terbuka meminta kepolisian untuk memperluas penetapan tersangka, menyusul adanya indikasi keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut.
"Saya minta dua orang lagi ditetapkan sebagai tersangka, karena ada dua orang lagi," ujar Ferdy.
Permintaan itu bukan tanpa dasar. Menurut Ferdy, kepolisian sejatinya telah mengantongi identitas dua orang yang dimaksud, meski hingga kini status hukum mereka belum dinaikkan ke tahap tersangka.
"Identitas polisi sudah tahu, cuman belum ditetapkan tersangka," tambahnya.
Dalam perspektif publik, kasus ini mencerminkan dinamika baru dalam penegakan hukum di era digital. Konten yang diproduksi secara personal kini memiliki konsekuensi sosial yang jauh lebih luas, terlebih ketika menyentuh isu suku, agama, atau identitas kolektif.
Bagi komunitas bobotoh, langkah VPC dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga kehormatan budaya Sunda, sekaligus mengingatkan kreator konten agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan narasi di ruang publik.
Di sisi lain, aparat penegak hukum dihadapkan pada tantangan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan terhadap kelompok masyarakat. Proses yang sedang berjalan di Polda Jawa Barat menjadi ujian penting bagi konsistensi penegakan hukum terhadap ujaran yang dinilai melukai identitas kolektif.
Kasus ini juga menyisakan refleksi lebih luas: sejauh mana masyarakat digital siap menerima konsekuensi dari setiap kata dan visual yang dipublikasikan. Ketika layar kamera dimatikan dan unggahan telah tersebar, tanggung jawab tidak ikut hilang.
Di titik inilah publik menanti, bukan hanya hasil hukum, tetapi juga pesan sosial yang akan lahir dari proses panjang ini—apakah ruang digital akan menjadi tempat yang lebih beradab, atau terus dibiarkan tanpa batas yang jelas.