SOKOGURU – Fenomena 571.410 penerima bantuan sosial (bansos) yang justru menggunakan dana negara untuk berjudi online adalah tamparan keras bagi semua pihak: pemerintah, pengawas, dan masyarakat itu sendiri.
Lebih dari Rp1 triliun uang bantuan sosial (bansos) mengalir ke platform ilegal, yang sebagian besar berbasis luar negeri. Ini bukan sekadar penyimpangan, tapi krisis moral dan kegagalan sistemik dalam mengelola kepercayaan rakyat.
Pemerintah melalui berbagai kementerian telah berupaya menyalurkan bansos demi menekan angka kemiskinan. Tapi apa daya jika uang yang seharusnya untuk makan, pendidikan, dan kesehatan, justru dijadikan modal bermain judi online (judol)?
Baca juga: 571 Ribu Penerima Bansos Diduga Main Judi Online, DPR Sebut Ini Bom Waktu Ekonomi!
Ada pepatah yang mengatakan "You can lead a horse to water, but you can't make it drink." (Kita bisa memberi bantuan, tapi tak bisa memaksa mereka menggunakannya dengan bijak).
Memang jika dikaitkan dengan pepatah di atas tak mudah mengawasi penggunaan bansos dari pemerintah digunakan penerima secara tepat guna.
Namun bila penggunaan bansos yang disalurkan pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) tidak tepat dalam pemanfaatannya, maka tujuan mulia bansos untuk mengurangi beban kalangan prasejahtera tak akan berdampak dan membuahkan hasil.
Kemiskinan Tak Surut, Judi Online Meroket
Saat ini statistik kemiskinan masih menunjukkan angka mencemaskan, terlebih pasca-pandemi. Tapi di saat bersamaan, industri judi online justru tumbuh subur — bak jamur di musim hujan. Judi tak hanya merenggut ekonomi rumah tangga, tapi juga merusak generasi dan memperlemah ketahanan sosial.
Yang lebih mengejutkan, sebagian platform judi ini berafiliasi dengan pihak-pihak berpengaruh, bahkan ada dugaan keterlibatan oknum pejabat tinggi yang ikut menikmati keuntungan dari bisnis haram ini.
Baca juga: DPR Sebut Judi Online Sengsarakan Masyarakat dan Harus Diberantas
Ada praktik cuci uang, kongkalikong lisensi, dan pelindung digital yang membuat pemberantasan judi seakan hanya macan kertas.
Bansos seharusnya menjadi jaring pengaman sosial. Namun saat bansos digunakan untuk bermain judi online, justru bansos berubah menjadi pintu masuk kehancuran ekonomi keluarga.”
Di Mana Negara?
Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seharusnya menjadi alarm bahaya. Tapi sejauh ini, penanganan masih bersifat reaktif dan terfokus pada penerima, tanpa menyentuh ekosistem besar di balik judi online, termasuk:
* Operator dan bandar besar
* Platform digital yang membiarkan iklan judi berseliweran
* Influencer atau publik figur yang mempromosikan situs judi
* Oknum aparat dan pejabat yang tutup mata atau bahkan ikut bermain di belakang layar
Jika pemerintah hanya memotong bantuan sosial atau menghukum individu tanpa membongkar struktur industri judol (judi online), maka problem ini akan berulang, hanya dengan wajah berbeda.
Evaluasi Menyeluruh Jadi Keniscayaan
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, sudah menyoroti pentingnya evaluasi total terhadap tata kelola bansos dan sistem verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Banyak penerima bansos ternyata masih aktif secara ekonomi, tapi tetap menerima bantuan karena data yang tidak diperbarui. Verifikasi yang lemah adalah celah besar penyalahgunaan.
Tapi lebih dari itu, perlu upaya serius lintas sektor untuk membasmi judi online sampai ke akar-akarnya:
* Penegakan hukum tanpa tebang pilih
* Pemblokiran total situs dan iklan judi digital
* Literasi digital dan keuangan bagi masyarakat bawah
* Transparansi sistem bansos dan integrasi dengan fintech berbasis pengawasan
* Revisi regulasi untuk memperkuat kontrol digital lintas platform
Pepatah Inggris mengatakan "The chains of habit are too light to be felt until they are too heavy to be broken." (Kebiasaan berulang terlalu ringan untuk disadari, sampai akhirnya menjadi terlalu berat untuk diputuskan).
Baca juga: DPR: Judi Online Lebih Berbahaya dari Pinjaman Online, Rakyat Kecil Jadi Korban Terbesar
Bila merujuk ke peribahasa tersebut, kita diingatkan bahwa kebiasaan buruk seperti bermain judi online sering kali dianggap sepele pada awalnya, tapi jika dibiarkan terus-menerus, akan menjadi beban besar yang sulit dihentikan.
Peribahasa di atas tampaknya selaras untuk menggambarkan kasus seperti kecanduan judi online.
Kesimpulan: Ironi, Tapi Bukan Tak Bisa Diatasi
Ini bukan sekadar berita mengejutkan — ini adalah simbol lemahnya pengawasan negara dan hilangnya kendali moral di tengah masyarakat miskin yang rentan.
Jika negara tidak segera bertindak, maka bansos bukan lagi solusi, melainkan akan menjadi bumerang bagi stabilitas ekonomi dan sosial Indonesia. (Opini/Deri Dahuri) (*)