Pertanian

Transformasi Gapoktan Jadi Koperasi, Momentum Reformasi Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Gapoktan yang berstatus sebagai organisasi masyarakat (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak memiliki struktur yang mendukung pengelolaan bisnis berskala besar seperti distribusi pupuk bersubsidi.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
02 Desember 2024
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi. (Dok,Kemenkop)

KEBIJAKAN baru terkait distribusi pupuk bersubsidi yang kini langsung diarahkan dari pabrik ke penerima manfaat menandai babak penting dalam tata kelola subsidi pupuk di Indonesia. 

 

Langkah ini diharapkan mampu mengurangi kebocoran dan memperbaiki efisiensi distribusi yang selama ini kerap menjadi masalah. 

 

Namun, di balik kebijakan ini, transformasi kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) menjadi badan hukum koperasi menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius.

 

Baca juga: Kemenkop Dorong CSR untuk Perkuat Koperasi dan Ketahanan Pangan

 

Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi, menegaskan bahwa perubahan kelembagaan Gapoktan menjadi koperasi adalah prasyarat mutlak agar mereka dapat berperan aktif dalam distribusi pupuk bersubsidi. 

 

Dengan sekitar 64.629 Gapoktan di seluruh Indonesia, dan baru 4.000 yang berbadan hukum koperasi, pekerjaan rumah pemerintah jelas tidak ringan.

 

Mengapa Koperasi?

 

Koperasi sebagai badan usaha memiliki kelebihan dalam hal legalitas, akuntabilitas, dan pengelolaan keuangan. 

 

Di sisi lain, Gapoktan yang berstatus sebagai organisasi masyarakat (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak memiliki struktur yang mendukung pengelolaan bisnis berskala besar seperti distribusi pupuk bersubsidi.

 

Transformasi ini bukan hanya soal legalitas, melainkan juga penguatan kelembagaan agar Gapoktan mampu mengelola tugas distribusi pupuk dengan transparansi dan efisiensi. 

 

Baca juga: Kemenkop Ajak Kisel Terlibat dalam Transformasi Digital Koperasi di Tanah Air

 

Namun, upaya ini bukan tanpa tantangan. Perubahan status membutuhkan waktu, pendampingan, serta pembiayaan yang tidak kecil.

 

Langkah Konkret yang Dibutuhkan

 

Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mempercepat transformasi ini, termasuk melalui program piloting bagi 500 koperasi, pelibatan penyuluh koperasi, dan kerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk standar pelaporan keuangan sederhana. 

 

Namun, apakah langkah ini cukup untuk mengubah ribuan Gapoktan dalam waktu kurang dari dua tahun?

 

Pendampingan teknis dan administrasi menjadi krusial. Mulai dari pendaftaran massal hingga pembukaan rekening bank untuk operasional koperasi Gapoktan, semua memerlukan koordinasi lintas lembaga yang cepat dan efektif. 

 

Selain itu, pelatihan bagi pengurus koperasi harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa koperasi yang dibentuk tidak hanya berbadan hukum, tetapi juga memiliki kapasitas manajerial yang memadai.

 

Waktunya Berpacu dengan Target

 

Dengan target perubahan kelembagaan selesai pada April 2025, sesuai timeline yang tercantum dalam rancangan Perpres Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, waktu yang tersisa tidak banyak. 

 

Baca juga: DPR Desak Kementan Segera Susun Skema Tepat untuk Distribusi Pupuk Subsidi

 

Ini memerlukan kolaborasi intensif antara Kementerian Koperasi, Kementerian BUMN, serta lembaga terkait lainnya.

 

Namun, pemerintah juga harus memastikan bahwa transisi ini tidak membebani petani kecil yang menjadi anggota Gapoktan. 

 

Dukungan berupa insentif atau pembiayaan bagi proses transformasi kelembagaan sebaiknya dipertimbangkan agar tidak ada kelompok tani yang tertinggal.

 

Membangun Ketahanan Pangan dengan Fondasi Kuat

 

Transformasi Gapoktan menjadi koperasi sejatinya tidak hanya soal distribusi pupuk bersubsidi. Ini adalah bagian dari upaya besar membangun fondasi ketahanan pangan yang lebih kuat dan berkelanjutan. 

 

Dengan koperasi sebagai tulang punggung, harapannya adalah efisiensi distribusi pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani.

 

Namun, keberhasilan ini hanya mungkin tercapai jika semua pihak berkomitmen untuk mendukung transformasi ini. Jangan sampai kebijakan baik ini terhambat oleh birokrasi yang lambat atau ketidaksiapan di lapangan. 

 

Reformasi tata kelola pupuk bersubsidi adalah peluang besar yang harus dimanfaatkan dengan maksimal demi masa depan pertanian Indonesia yang lebih baik. (SG-2)