TOTAL peserta yang ikut pada pameran Inacraft 2025 sebanyak 1.061 stan baik secara individu, pemerintah daerah, BUMN dan peserta luar negeri. Sebagian peserta mengaku bukan pertama kali ikut di ajang pameran kerajinan terbesar di Asia Tenggara itu.
Pemilik Yani’s Quilt bernama Jeannette,70, misalnya, mengaku sudah ikut pameran Inacraf sejak 2010 sebagai peserta individu. Produk yang dijual berupa tas, dompet, selimut, bedcover, sarung bantal yang dibuat dengan teknik quilting yaitu menjahit kain perca handmade.
“Semua produk saya buatan tangan, jadi tidak banyak. Paling cepat untuk bedcover 1 pcs per bulan. Jadi setahun bisa cuma 10-12,” ujar perempuan dari Muara Karang, Jakarta Utara itu kepada Sokoguru, Kamis (6/2).
Baca juga: Rayakan 25 Tahun Inacraf: Pengunjung Torehkan Warna Alam pada Kain Sepanjang 25 meter
Menurutnya, ia tidak pernah kapok mengikuti Inacraft, meskipun produk yang dibawanya hanya sekitar 100-an buah dari berbagai item. Persiapan khusus yang dia lakukan juga tidak ada, karena setelah pameran ia akan membuat lagi buat Inacraft tahun berikutnya.
Cuma bedanya, sambung Jeannette, beberapa tahun terakhir pembeli orang asing berkurang. Karena yang menggemari produknya umumnya dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Bulgaria, Australia.
Itulah sebabnya ia juga kerap mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Women International Club (WIC) atau kedubes-kedubes asing.
Baca juga: Diluncurkan, Malam Batik Berkelanjutan Berbasis Sawit Pengganti Lilin Minyak Bumi
“Kalau dulu banyak orang asingnya,” imbuhnya yang menjual produknya dengan harga mulai dari Rp50.000 hingga Rp8 juta.
Meski sudah belasan tahun ikut Inacraft, Jeannette mengaku belum bermain di level ekspor, karena produk handmade yang membutuhkan ketelitian.
“Memang ada pesanan dari luar negeri, tetapi mereka detail sekali. Lebih berapa centimeter saja saya harus rombak. Itukan melelahkan ya, karena semuanya dibuat tangan, tidak pakai mesin,” ujarnya yang sejak hari pertama pameran sudah beberapa produknya terjual.
Baca juga: Resmi dibuka, Inacraft ke-25 Targetkan Penjualan Rp100 Miliar
Hal senada disampaikan Helmi Sanjaya,47, asal Garut Jawa Barat. Pemilik Ghazi Original Leather yang memproduksi tas, jaket, dompet, dan topi dari kulit asli itu sudah ikut pameran Inacraft selama 15 tahun sebagai peserta individu.
Juara favorit pada kompetisi UMKM yang diselenggarakan oleh Telkom pada 2018 ini juga mengaku tidak pernah kapok dan selalu menjadi peserta individu.
“Jadi saya bayar stannya selama lima hari pameran. Selalu nutup sih hasil penjualannya, kalaupun tidak, ya hitung-hitung biaya promosi,” ujarnya yang harus mengeluarkan dana Rp35 juta untuk biaya pameran.
Helmi Sanjaya sudah 15 tahun ikut pameran Inacraft. (Dok. Sokoguru/Rosmery)
Helmi yang mendirikan usahanya sejak 2009 bersama istrinya Enung Kusmiati kini sudah memiliki tiga toko di Garut dengan dibantu 13 karyawan. Selain menjual produknya di toko sendiri, ia juga menitipkan produknya di sejumlah toko di Bandung. Pada pameran kali ini, stan Helmi juga di hall yang menjual produk-produk premium.
“Kalau dulu sebelum covid-19, penjualan saya di Inacraft selalu tinggi. Sekarang ini hampir menyamailah,” imbuhnya yang menolak menyebutkan besaran omsetnya.
Helmi mengatakan pembeli yang datang ke stannya beragam, bisa perorangan untuk pakai sendiri dan para reseller.
“Tetapi ada juga dari perusahaan-perusahan yang order sampai ratusan pcs. Tahun lalu saya mendapat order 100 jaket kulit seharga Rp2,5 juta per pcs. Pernah juga dari kementerian pesan dompet sebanyak ratusan juga,” jelasnya yang ingin sekali mendapatkan stan pameran di paling depan.
Mengikuti pameran Inacraft sudah belasan tahun juga dilakukan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Solo. Dengan beranggotakan 20 pengusaha batik tradisional, forum tersebut sudah ikut pameran sejak 2007.
Menurut Nugroho, pemilik Batik Cap Tiga Negeri yang juga anggota forum, sampai saat ini para konsumennya masih dari lokal. Namun, tiap kali ikut Inacraft jaringannya terus bertambah.
“Apalagi kita sekarang juga mengenalkan batik berkelanjutan, karena batik-batik Laweyan sudah menggunakan malam (lilin) dari sawit, bukan lagi yang terbuat dari minyak bumi,” ujarnya yang menjual batik tulisnya seharga Rp1 jutaan ke atas. (Ros/SG-1)