Humaniora

Sejarah Hari Pers Nasional: Mengapa Jatuh pada 9 Februari

Ditetapkannya 9 Februari sebagai HPN bermula dari kongres wartawan pertama di Surakarta pada 1946. Dan kegiatan itu pula yang menandai berdirinya organisasi Persatuan wartawan Indonesia (PWI).

 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
08 Februari 2025
Logo resmi Hari Pers Nasional (HPN) 2025 (Dok. PWI)

SETIAP tahun pada 9 Februari diperingati Hari Pers Nasional (HPN)sebagai bentuk penghargaan terhadap peran penting pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

 

Tahun ini, peringatan Hari Pers Nasional dipusatkan di Banjarmasin dengan mengusung tema Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa. 

 

Tema Hari Pers Nasional 2025 menegaskan peran strategis pers dalam mendukung ketahanan pangan sebagai aspek fundamental bagi kemandirian dan kesejahteraan nasional.

 

Baca juga: Pers Berperan Penting Sosialisasikan Program Ketahanan Pangan Sekaligus Mengkritisi

 

Ditetapkannya 9 Februari sebagai HPN bermula dari kongres wartawan pertama di Surakarta pada 1946. Dan kegiatan itu pula yang menandai berdirinya organisasi wartawan pertama di Indonesia yaitu Persatuan wartawan Indonesia (PWI). Sejak itulah setiap 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional.

 

Menurut laman PWI disebutkan,  dengan lahirnya PWI, wartawan Indonesia menjadi tangguh untuk tampil sebagai ujung tombak perjuangan Indonesia dalam menentang kembalinya kolonialisme dan negara lain yang ingin meruntuhkan RI. 

 

Organisasi PWI lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946.

 

Baca: Diskusi HPN 2025: Tantangan Pers Saat ini adalah Masyarakat Pers Sendiri

 

PWI menjadi wadah para wartawan untuk memperjuangkan bangsa lewat tulisan. Sejauh ini, sebagaimana para jurnalis Indonesia di masa penggalangan kesadaran bangsa, para wartawan dari generasi 1945 yang masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan perjuangan bangsa, kendati ada kendala menghadang kiprahnya. 

 

HPN resmi ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden ke-2 RI Soeharto. Ditetapkannya HPN bertujuan untuk memperkuat kebebasan pers, sekaligus memastikan bahwa pers tetap bertanggung jawab dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. 

 

Sejak saat itu, setiap tahunnya, insan pers di Indonesia memperingati hari bersejarah tersebut dengan berbagai kegiatan yang menyoroti peran pers dalam demokrasi, transparansi, dan penyampaian informasi yang akurat kepada masyarakat.

 

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Sejarah Hari Pers Nasional

 

 

Tahun ini kegiatan pers di isi dengan kegiatan Summit Nasional Media Massa ‘Media Sustainability di Era Kecerdasan Buatan’, Seminar ketahanan pangan, diskusi penghargaan jurnalistik Adinogoro dan pelatihan jurnalistik kampus, jalan sehat dan bakti sosial dan lomba baca puisi, rapat kerja dan lain sebagainya.
 

Pilar keempat demokrasi

Pers memiliki peran sangat strategis dalam masyarakat modern. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers bertugas untuk pertama,  menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada masyarakat. Kedua, mengawasi kebijakan pemerintah serta menjadi penghubung antara rakyat dan pemangku kepentingan.

 

Kemudian ketiga, menjaga kebebasan berpendapat serta melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan. Keempat, mengedukasi publik mengenai berbagai isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

 

Dalam era digital saat ini, tantangan yang dihadapi oleh pers semakin besar. Berita hoaks, misinformasi, dan tekanan politik menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers. Oleh karena itu, insan pers dituntut untuk selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik serta bekerja secara independen dan profesional.

 

Lima tokoh pers

Indonesia memiliki beberapa tokoh pers yang legendaris. Dikutip dalam Lantas siapa saja tokoh pers legendaris di Indonesia? Dikutip dari DetikJatim dan berbagai sumber, berikut tokoh-tokoh pers legendaris di Indonesia.

 

Tirto Adhi Soerjo

Pria yang lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1880 in dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia. Pada 1907, Tirto mendirikan sebuah surat kabar bernama Medan Prijaji dengan modal sendiri.

 

Surat kabar berbahasa Melayu itu menjadi koran nasional pertama di Indonesia. Selain itu, Tirto selalu mempekerjakan jurnalis dan pekerja asli Indonesia

Ernest Douwes Dekker

Pria yang dikenal sebagai Dr. Danudirja merupakan salah satu pahlawan Indonesia. Ia lahir pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Douwes Dekker merupakan keturunan dari pasangan campuran Indo-Eropa.

 

Ia terjun di bidang jurnalistik setelah kembali dari perang Boer Kedua (1899-1902). Pada 1905, ia bekerja di surat kabar De Locomotief. Melalui jurnalistik, Douwes Dekker banyak mengkritik kinerja pemerintah kolonial dengan tulisan-tulisannya yang tajam.

 

Ruhana Kudus

Jurnalis perempuan pertama di Indonesia ini lahir pada 20 Desember 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat. Nama lahirnya Siti Roehana Koeddoes.

 

Sejak kecil ia sudah gemar membaca dan itulah yang membuat Rohana Kudus akhirnya terjun menjadi seorang jurnalis. Ia juga menjadi perempuan yang turut memperjuangkan kedudukan perempuan supaya setara dengan kaum laki-laki.

 

Pada 10 Juli 1912, Rohana mendirikan surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Rohana dipercaya menjadi pimpinan redaksi dalam surat kabar bernama Soenting Melajoe oleh Datuk Sutan Maharadja.

 

DjamaluddinAdinegoro

Adik dari pahlawan nasional Muhammad Yamin ini adalah  salah satu wartawan dan sastrawan Indonesia. Ia lahir pada 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatera Barat.

 

Adinegoro mendalami jurnalistik saat ia sedang menempuh pendidikan di Berlin selama empat tahun. Pengalaman tersebut membuatnya memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dalam bidang jurnalistik.

 

Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia. Ia kerap berpindah-pindah tempat kerja. Hingga akhirnya bekerja di Kantor Berita Nasional sampai akhir hayatnya.

 

S.K Trimurti

Nama lengkapnya Soerastri Karma Trimurti atau yang lebih dikenal dengan nama S.K Trimurti merupakan salah satu wartawan perempuan di Indonesia. Ia lahir pada 11 Mei 1912 di Boyolali.

 

S.K. Trimurti merupakan seorang jurnalis perempuan yang cerdik dan tidak mengenal takut. Berawal dari pengalamannya mendekam di penjara karena ikut menyebarkan propaganda, Trimurti tertarik terjun ke dunia jurnalistik.

Ia juga dikenal sebagai jurnalis yang kritis. Trimurti kerap mengganti-ganti nama supaya tidak tertangkap. Bersama suaminya, Sayuti Melik, ia menerbitkan sebuah majalah mingguan Pesat pada 1938. (SG-1)