Hukum

DPR Desak ‘Restorative Justice’ untuk Ibu yang Ditahan Saat Demo Pabrik Sawit di Sumut

Tina Rambe, bersama dua rekannya, ditangkap pada Mei 2023 saat memprotes pengoperasian pabrik sawit PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP) di Labuhanbatu, Sumatra Utara (Sumut).

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
10 September 2024
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh dalam rapat di Jakarta, Senin (9/9). (Its/DPR RI)

SEORANG ibu dari Sumatera Utara, Tina Rambe, menjadi pusat perhatian publik setelah ditangkap karena aksi protesnya menentang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang dinilai merugikan masyarakat sekitar. 

 

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, menyerukan penggunaan pendekatan restorative justice dalam kasus ini, guna memastikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.

 

Tina Rambe, bersama dua rekannya, ditangkap pada Mei 2023 saat memprotes pengoperasian pabrik sawit PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP) di Labuhanbatu, Sumatra Utara (Sumut).

 

Baca juga: Para Demonstran Pembela Demokrasi yang Ditahan Kepolisian Minta Segera Dibebaskan

 

Mereka menolak keberadaan pabrik yang dituduh mencemari lingkungan dengan polusi udara, bau, dan kebisingan yang mengganggu kenyamanan warga, terutama anak-anak di sekolah yang berdekatan dengan lokasi pabrik. 

 

Meski dua rekannya sudah dibebaskan dengan penangguhan, Tina masih mendekam di tahanan.

 

Kasus ini mencuat di mata publik setelah video yang memperlihatkan Tina dipisahkan dari anak balitanya di balik jeruji viral di media sosial. 

 

Dalam video tersebut, terlihat betapa Tina merindukan anaknya, namun tak diizinkan untuk bertemu langsung. 

 

Kondisi ini mengundang simpati luas dan kritikan tajam dari berbagai pihak, termasuk DPR.

 

Baca juga: DPR Soroti Klaim BPJS Ketenagakerjaan yang Berbelit dan Lama di Solo

 

Pangeran Khairul Saleh menyayangkan ketidakpekaan aparat hukum dalam menangani kasus ini. 

 

Menurut Khairul, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara lebih humanis, dengan memberikan kesempatan bagi Tina untuk bertemu anaknya tanpa batasan jeruji. 

 

Ia juga mempertanyakan alasan mengapa hanya Tina yang belum mendapatkan penangguhan penahanan, sementara rekannya sudah dibebaskan.

 

Restorative Justice untuk Tina Rambe

 

Pangeran menegaskan bahwa kasus ini idealnya diselesaikan dengan pendekatan restorative justice—yakni mediasi antara pihak-pihak yang terlibat, termasuk masyarakat, perusahaan, dan aparat penegak hukum. 

 

Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih adil dan tidak merugikan satu pihak, terutama warga yang memperjuangkan hak-hak lingkungan mereka.

 

"Penegakan hukum seharusnya mengedepankan kepentingan umum dan menyelesaikan konflik sosial secara damai, bukan dengan tindakan represif seperti penahanan," ujar Pangeran.

 

Baca juga: DPR Curigai Pejabat Kemenag Terima Gratifikasi Terkait Pelaksanaan Ibadah Haji 2024

 

Protes Warga Berlarut-larut Sejak 2017

 

Penolakan terhadap operasional pabrik sawit di Labuhanbatu telah berlangsung sejak 2017, namun baru menjadi sorotan nasional setelah kasus Tina viral. 

 

Pabrik tersebut dituduh menyebabkan pencemaran air sumur dan sungai, serta mengganggu aktivitas sehari-hari warga dengan suara bising dan polusi udara.

 

Menurut Pangeran, demonstrasi yang dilakukan warga termasuk Tina Rambe adalah bentuk ekspresi yang dilindungi konstitusi. 

 

Ia meminta agar aparat penegak hukum tidak menggunakan jalur hukum sebagai alat untuk membungkam suara protes masyarakat.

 

"Hukum harus ditegakkan secara adil, bukan sebagai instrumen untuk melindungi korporasi besar," tegasnya sebagaimana dilansir situs DPR RI, Senin malam (9/9).

 

Pangeran juga meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap izin operasional PT PPSP, termasuk dampak lingkungan dari pabrik tersebut. 

 

Ia menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan kasus ini, guna menjaga kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

 

Meminta Solusi Keadilan

 

Kasus Tina Rambe dianggap sebagai contoh nyata bagaimana hukum bisa terasa berat di satu pihak dan ringan di pihak lainnya. 

 

Pangeran memperingatkan aparat penegak hukum untuk tidak memperkeruh suasana dengan tindakan yang dianggap sebagai kriminalisasi warga yang memperjuangkan hak-hak mereka. 

 

Baca juga: Terima GIB, DPR Minta Pemerintah Revisi PP Atur Alat Kontrasepsi Usia Sekolah

 

Ia juga mengimbau agar kasus ini bisa segera diselesaikan secara damai, tanpa merugikan kepentingan masyarakat maupun lingkungan.

 

"Restorative justice bukan hanya solusi untuk kasus ini, tetapi juga cara untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan antara warga dan perusahaan," tutup Pangeran. (SG-2)