KETUA Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mendesak pemerintah untuk mengurangi pembiayaan yang tidak produktif dan tidak berdampak langsung pada masyarakat.
Langkah ini diambil untuk menghemat pengeluaran negara di tengah meningkatnya beban subsidi APBN akibat melemahnya kurs rupiah terhadap dolar.
"Proyek-proyek yang tidak mendesak seperti proyek mercusuar dan sejenisnya sebaiknya ditangguhkan mengingat dampak ekonominya yang cukup besar," ujar Sugeng dalam pernyataan tertulisnya sebagaimana dikutip situs DPR RI, Jakarta, Minggu (30/6).
Baca juga: DPR RI: Anggaran Pendidikan dari APBN Besar, Kenapa Biaya Kuliah Malah Meroket?
Selain itu, Sugeng, yang juga politikus Fraksi Partai NasDem, meminta pemerintah untuk mengkaji ulang subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Menurutnya, kajian mendalam diperlukan untuk menemukan solusi atas subsidi yang semakin membebani APBN.
Kenaikan Harga Produksi BBM
Masalah subsidi BBM menjadi semakin kompleks dengan kenaikan harga produksi BBM.
Harga produksi Pertalite telah meningkat dari Rp12.400 menjadi Rp13.500 per liter, yang lebih tinggi Rp3.500 dibandingkan harga jual di SPBU Pertamina yang saat ini Rp10.000 per liter.
"Pertalite dengan harga jual Rp10.000 per liter, harga produksinya sudah mencapai Rp13.500," jelas Sugeng.
Baca juga: DPR Desak Dirjen Ketenagalistrikan Evaluasi Program Subsidi Listrik
"Ini jelas memberikan beban berat bagi Pertamina, terutama jika penyaluran Pertalite melebihi kuota yang telah ditentukan untuk tahun 2024 sebesar 31 juta kiloliter," tambah Sugeng.
Menurut Sugeng, selisih harga produksi dan harga jual tersebut bisa memberikan beban berat bagi Pertamina, terutama jika penyaluran Pertalite melebihi kuota yang telah ditentukan pada tahun 2024 yaitu 31 juta kiloliter.
Prognosa menunjukkan bahwa penyaluran ini tampaknya akan melampaui target, bahkan bisa mencapai 32 juta kiloliter.
"Setiap liternya ada selisih Rp3.500, jika dikalikan 31 juta kiloliter, beban bagi Pertamina akan sangat besar," jelas Sugeng.
Masalah pada Solar
Tak hanya Pertalite, BBM jenis Solar juga menghadapi masalah serupa. Harga keekonomian Solar mencapai Rp12.100, sementara harga jual di SPBU hanya Rp6.800.
Subsidi dari pemerintah hanya sebesar Rp1.000 per liter, jauh dari mencukupi.
Baca juga: Bersama Pimpinan Universitas, DPR Bahas Polemik Alokasi Anggaran Pendidikan
"Solar juga mengalami masalah serius. Subsidi yang ditetapkan pemerintah hanya Rp1.000 per liter, sementara harga keekonomian Solar jauh lebih tinggi. Ini menjadi beban yang terus-menerus bagi negara," ungkap Sugeng.
Sugeng menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah strategis untuk mengurangi beban APBN akibat subsidi BBM yang terus meningkat.
Ia berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini demi kestabilan ekonomi negara. (SG-2)