Ekonomi

Banyaknya Potongan Gaji Pekerja Picu Besarnya Penolakan Program Tapera

Saat ini pekerja sudah terlalu banyak dikenakan potongan gaji, seperti BPJS Kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1%, Jaminan Hari Tua 2%, serta PPh 21 yang memotong 5-35% sesuai penghasilan pekerja.

By Kang Deri  | Sokoguru.Id
02 Juni 2024
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama.  (Dok.DPR)

PEMERINTAH, melalui Kantor Staf Kepresidenan, menggelar konferensi pers untuk merespons penolakan masyarakat terhadap Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Jumat (31/5).

 

Dalam konferensi tersebut, pemerintah menegaskan akan melanjutkan program ini dengan sosialisasi dan public hearing secara masif.

 

Pemerintah juga menekankan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera tidak langsung memotong gaji atau upah pekerja non-ASN, TNI, dan Polri, karena mekanisme akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.

 

Baca juga: Pemotongan Gaji Tiap Bulan untuk Tapera Kian Bebani Pekerja

 

Pemberlakuan kepesertaan Tapera dijadwalkan paling lambat tahun 2027.

 

Namun, Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama menekankan bahwa masalah utama penolakan Tapera bukanlah sosialisasi yang kurang, melainkan lamanya pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

 

Menurutnya, penerbitan aturan turunan UU ini memakan waktu hingga delapan tahun, dan bahkan masih menunggu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

 

"Situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas," tegas Suryadi.

 

Pada tahun 2016, UU tentang Tapera mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh seperti Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

 

Namun, Suryadi mencatat bahwa saat ini pekerja sudah terlalu banyak dikenakan potongan gaji, seperti BPJS Kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1%, Jaminan Hari Tua 2%, serta PPh 21 yang memotong 5-35% sesuai penghasilan pekerja.

 

Baca juga: 10 Juta Gen Z Menganggur, Tanpa intervensi Tepat, Bonus Demografi Bisa Jadi Bom Waktu

 

"Potongan gaji pekerja dengan label wajib semakin menambah trauma para pekerja, dengan adanya kewajiban menjadi peserta Tapera seperti dinyatakan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 2016," ujar Suryadi, politikus Fraksi PKS sebagaimana dilansir situs resmi DPR RI, Sabtu (1/6).

 

Penyalahgunaan Dana Jiwasraya dan Asabri Picu Ketidakpercayaan

 

Ia juga menyoroti ketidakpercayaan masyarakat karena kasus penyalahgunaan dana seperti Jiwasraya dan Asabri.

 

"Sehebat apapun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih sulit untuk diyakinkan," tambahnya.

 

Suryadi juga mengkritisi pengelolaan dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal Tapera.

 

Menurutnya, belum ada evaluasi terhadap pengelolaan dana Taperum-PNS yang berjalan sejak tahun 1993 hingga dilebur ke Tapera pada 2018.

 

Baca juga: Pemerintah Batalkan Kenaikan UKT: Respons Tepat atau Sekadar Meredam Gejolak?

 

"Belum jelas apakah sampai sekarang masih ada kesulitan pencairan uang tabungan 200.000 PNS yang pensiun dan 317.000 PNS yang pernah menabung di Taperum-PNS yang dananya masih ada tetapi mereka tak dapat mengambilnya," ungkapnya.

 

Suryadi meminta agar pemerintah membuka opsi evaluasi Tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 bagi PNS.

 

Bahkan, ia menyarankan adanya revisi UU Nomor 4 Tahun 2016, terutama berkaitan dengan kewajiban setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi Peserta Tapera.

 

"Perlu ada transparansi dan kejelasan lebih lanjut agar program ini bisa diterima masyarakat dengan baik," tegasnya.

 

Dengan masifnya penolakan ini, pemerintah diharapkan lebih peka terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat serta pekerja yang merasa terbebani dengan banyaknya potongan gaji.

 

Sosialisasi dan penjelasan yang transparan menjadi kunci untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. (SG-2)