Editorial

10 Juta Gen Z Menganggur, Tanpa intervensi Tepat, Bonus Demografi Bisa Jadi Bom Waktu

Institusi pendidikan vokasi perlu diperluas dan ditingkatkan kualitasnya, memberikan pelatihan yang langsung menghubungkan lulusan dengan peluang kerja.
 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
28 Mei 2024
Ilustrasi. BPS baru-baru ini melaporkan bahwa hampir 10 juta Gen Z, penduduk usia 15-24 tahun, berada dalam kategori not in employment, education, and training (NEET). (Ist/Freepik)

INDONESIA menghadapi tantangan besar dalam mengelola bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melaporkan bahwa hampir 10 juta Gen Z, penduduk usia 15-24 tahun, berada dalam kategori not in employment, education, and training (NEET).

 

Lebih dari setengah dari mereka berada di perkotaan, dengan jumlah mencapai 5,2 juta orang, sementara 4,6 juta lainnya berada di pedesaan.

 

Baca juga: DPR Usulkan Kenaikan Anggaran Pendidikan Vokasi untuk Dukung SDM Berketerampilan 

 

Fenomena ini merupakan ancaman serius bagi impian "Indonesia Emas 2045".

 

Data ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan pemangku kepentingan. Tanpa intervensi yang tepat, bonus demografi bisa berubah menjadi bom waktu.

 

Generasi muda, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, justru terhimpit oleh tingginya biaya pendidikan dan minimnya kesempatan kerja yang layak.

 

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hanya menambah beban, menjauhkan akses pendidikan tinggi dari jangkauan mereka.

 

Sistem pendidikan kita harus beradaptasi dengan cepat untuk menyediakan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini.

 

Institusi pendidikan vokasi perlu diperluas dan ditingkatkan kualitasnya, memberikan pelatihan yang langsung menghubungkan lulusan dengan peluang kerja.

 

Baca juga: Pemanfaatan Bonus Demografi Kunci Pertumbuhan IKM di Tanah Air

 

Ini bukan hanya tentang menciptakan lebih banyak lulusan, tetapi tentang menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai dan memiliki kompetensi sesuai tuntutan industri.

 

Di sisi lain, sektor kerja formal harus diperluas. Saat ini, banyak anak muda yang terpaksa mencari nafkah di sektor informal yang minim perlindungan dan keamanan kerja.

 

Kisah viral tentang antrean panjang pelamar kerja di sebuah warung makan menggambarkan betapa sulitnya mencari pekerjaan formal.

 

Hal ini menunjukkan bahwa lapangan kerja formal belum mampu menyerap jumlah pencari kerja yang terus meningkat.

 

Pemerintah perlu mendorong investasi yang menciptakan lapangan kerja baru, bukan hanya mengandalkan investasi asing yang seringkali tidak cukup menyerap tenaga kerja lokal.

 

Kebijakan proaktif diperlukan untuk mendorong perusahaan domestik dan internasional agar membuka lebih banyak posisi bagi tenaga kerja muda, termasuk dengan menghilangkan syarat pengalaman kerja yang seringkali menjadi hambatan bagi mereka yang baru lulus.

 

Selain itu, regulasi perlindungan pekerja di sektor informal harus diperkuat.

 

Para pekerja di sektor ini sering kali bekerja tanpa jaminan sosial, upah layak, atau perlindungan kerja yang memadai.

 

Baca juga: Studi INDEF: Platform Digital Dorong Omzet UMKM Naik dan Ciptakan Lapangan Kerja Baru

 

Kebijakan yang melindungi mereka akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan stabilitas ekonomi para pekerja muda.

 

Kita tidak bisa hanya berharap bahwa waktu akan memperbaiki masalah ini. Diperlukan langkah konkret dan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan.

 

Baca juga: Di Forum WEF, Menko Airlangga Dorong Penguatan Pasar Tenaga Kerja Bagi Kaum Muda

 

Jika tidak segera ditangani, masalah pengangguran Gen Z akan terus membesar dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial yang lebih luas.

 

Hanya dengan langkah nyata dan komprehensif, kita bisa memastikan bahwa bonus demografi benar-benar membawa manfaat bagi Indonesia, bukan menjadi ancaman di masa depan. (SG-2)