SELAMA bertahun-tahun, pemerintah Indonesia telah berusaha membangun ekosistem yang mendukung bagi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dengan berbagai kebijakan dan program pembiayaan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Namun, meskipun berbagai inisiatif ini terdengar ambisius, realitas di lapangan menunjukkan banyak tantangan yang belum terselesaikan.
Salah satu masalah utama adalah ketimpangan yang mencolok antara kebutuhan pembiayaan UMKM dan ketersediaan kredit dari lembaga keuangan.
Baca juga: Peran Strategis BNI dalam Mendorong Pertumbuhan UMKM di Sulawesi Utara
Meski pemerintah menargetkan peningkatan porsi kredit untuk UMKM hingga 30% dari total kredit perbankan, kenyataannya realisasi masih jauh dari target tersebut.
Dengan hanya 19,6% kredit yang tersalurkan kepada UMKM, kita patut mempertanyakan efektivitas kebijakan yang telah dijalankan selama ini.
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang terus meningkat setiap tahun, dengan target tahun ini mencapai Rp 297 triliun.
Namun, apakah peningkatan angka ini benar-benar mencerminkan perubahan nyata bagi pelaku usaha mikro dan kecil?
Sebagian besar UMKM, terutama yang berada di sektor mikro, masih kesulitan mengakses pembiayaan.
Birokrasi yang rumit, persyaratan yang memberatkan, dan akses yang terbatas menjadi hambatan besar yang sulit mereka lewati.
Baca juga: Kemenkop UKM Yakin 'Innovative Credit Scoring' Permudah Akses Kredit untuk UMKM
Hal ini mengungkapkan bahwa perbaikan dari sisi regulasi dan akses pembiayaan belum cukup terasa bagi banyak pelaku usaha kecil.
Selain itu, meskipun ada inovasi seperti pembiayaan klaster dan model agregator, banyak UMKM yang belum merasakan manfaatnya.
Kebijakan ini sering kali lebih menguntungkan pelaku usaha yang lebih mapan, sementara usaha mikro yang benar-benar membutuhkan dorongan justru tertinggal.
Pemerintah seolah sibuk memperkenalkan program-program baru tanpa memastikan bahwa mereka yang paling rentan mendapat manfaat langsung.
Yang lebih memprihatinkan, masih ada 47% kebutuhan pembiayaan UMKM yang belum terlayani oleh lembaga keuangan.
Ini bukan hanya angka; ini adalah bukti nyata bahwa sebagian besar pelaku usaha kecil dan menengah masih berjuang sendirian.
Sementara permintaan kredit terus meningkat, pasokan dari lembaga keuangan tidak mampu mengimbangi kebutuhan tersebut.
Baca juga: Terobosan Pembiayaan UMKM, Mampukah ‘Credit Scoring’ Atasi Akses yang Terbatas?
Ini adalah ironi dalam ekosistem bisnis yang seharusnya inklusif dan mendukung.
Upaya pemerintah dalam memperkenalkan teknologi finansial seperti peer-to-peer lending dan sistem penilaian kredit berbasis teknologi memang patut diapresiasi.
Namun lagi-lagi, akses terhadap teknologi ini masih menjadi tantangan bagi banyak UMKM, khususnya di daerah yang belum berkembang secara digital.
Inovasi teknologi tidak akan banyak berarti jika tidak diiringi dengan pendidikan dan pendampingan yang memadai.
Jadi, meskipun pemerintah terus mengumbar janji tentang dukungan bagi UMKM, kenyataan di lapangan jauh dari ideal.
Tanpa adanya pembenahan mendasar dalam implementasi kebijakan, UMKM akan terus terperangkap dalam lingkaran masalah pembiayaan.
Pemerintah harus lebih fokus pada penyederhanaan proses, memperluas akses kredit, dan memastikan bahwa program-program yang ada benar-benar menguntungkan semua pihak, terutama mereka yang paling membutuhkan.
Di tengah gempuran janji dan target ambisius, UMKM masih berada dalam posisi yang sulit.
Harapan bahwa mereka dapat menjadi motor penggerak ekonomi nasional hanya akan menjadi angan-angan jika masalah mendasar ini tidak segera diselesaikan. (SG-2)