USAHA mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering disebut sebagai pilar utama perekonomian Indonesia, namun ironisnya, akses mereka ke pembiayaan formal masih terbilang terbatas.
Kendala seperti syarat agunan yang kaku membuat banyak UMKM sulit mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Di tengah situasi ini, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM), Teten Masduki, mengusulkan credit scoring berbasis data alternatif sebagai jalan keluar.
Baca juga: Tingkatkan Dukungan untuk UMKM, Porsi Pembiayaan UMKM BSI Naik
Credit scoring dipandang sebagai sebuah inovasi yang menjanjikan. Namun sejauh mana solusi ini mampu mengatasi permasalahan akar?
Teten menyoroti betapa potensialnya penggunaan data seperti konsumsi listrik, aktivitas telekomunikasi, hingga transaksi non-bank untuk menilai kelayakan kredit UMKM.
Alih-alih bergantung pada agunan, credit scoring inovatif ini memberi harapan untuk membuka pintu pembiayaan lebih luas bagi para pelaku usaha kecil.
Namun, apakah perbankan dan lembaga keuangan siap meninggalkan penilaian kredit tradisional demi adopsi metode yang lebih inklusif?
Kredit Tanpa Agunan: Revolusi atau Ilusi?
Dalam teorinya, penggunaan data alternatif ini adalah sebuah revolusi—mengubah cara lembaga keuangan melihat UMKM. Namun, kenyataan sering kali tidak sejalan dengan gagasan brilian.
Meski Teten optimistis bahwa KUR akan semakin inklusif dengan penerapan credit scoring, permasalahan utamanya adalah apakah perbankan bersedia mengambil risiko mengadopsi pendekatan baru ini.
Baca juga: Memperluas Akses Pembiayaan untuk UMKM, Antara Tantangan dan Harapan
Di sisi lain, ada 30,76 juta UMKM yang hingga kini belum tersentuh oleh pembiayaan formal.
Data tersebut menggarisbawahi urgensi untuk menemukan solusi, namun apakah credit scoring inovatif ini benar-benar mampu menjembatani jurang antara UMKM dan lembaga keuangan?
Atau justru solusi ini hanya menjadi bagian dari strategi pemerintah yang "terdengar baik" tapi lamban dalam penerapan?
Regulasi yang Aman, Perbankan yang Ragu
Teten dengan jujur mengakui bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak dapat memaksakan penerapan credit scoring inovatif ini kepada perbankan.
Di sini, tampak jelas bahwa pemerintah memilih pendekatan hati-hati, mendorong perubahan tanpa paksaan.
Sementara itu, para pelaku usaha kecil terus menunggu dengan harapan besar, namun tanpa kepastian.
OJK sendiri telah menyiapkan infrastruktur untuk mendukung inovasi ini. Bahkan, ada 17 perusahaan yang telah mengajukan izin sebagai penyedia layanan credit scoring.
Namun, angka ini terkesan jauh dari cukup. Mengingat luasnya kebutuhan pembiayaan UMKM di Indonesia, langkah ini terasa seperti sebuah upaya kecil di tengah tantangan besar.
Dukungan Pemerintah: Strategi Nyata atau Sekadar Formalitas?
Dukungan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membawa usulan credit scoring ini ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tentu adalah kabar baik.
Namun, dalam dunia kebijakan, dukungan politik kadang hanya terlihat indah di permukaan. Apakah ini akan berujung pada implementasi yang konkret, atau hanya sekadar formalitas administratif?
Baca juga: Mengubah UMKM Indonesia, dari Sekadar Bertahan Hidup ke Daya Saing Global
Yang jelas, di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, kebijakan yang proaktif dan eksekusi di lapangan menjadi kunci.
Dalam hal ini, pemerintah perlu memastikan bahwa dukungan mereka tidak berhenti pada tataran kebijakan, melainkan juga menyalurkan sumber daya dan inisiatif yang nyata.
Saatnya Berani Mengambil Langkah Nyata
Credit scoring berbasis data alternatif menawarkan angin segar dalam pembiayaan UMKM, namun inovasi ini membutuhkan lebih dari sekadar dukungan politis dan infrastruktur.
Dibutuhkan keberanian—baik dari perbankan, regulator, maupun pelaku UMKM—untuk benar-benar keluar dari pendekatan tradisional yang selama ini menghambat.
Jika tidak, inovasi ini hanya akan menjadi satu lagi kebijakan yang baik di atas kertas, namun minim dampak nyata di lapangan.
Kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, sektor keuangan, dan UMKM harus menjadi prioritas, karena solusi setengah hati hanya akan memperlebar kesenjangan akses pembiayaan yang selama ini ada.(SG-2)