DALAM upaya memperkuat sektor usaha mikro di Indonesia, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM), Teten Masduki, menegaskan pentingnya akses pembiayaan yang lebih luas dan inklusif.
Pada High Level Forum on Multi Stakeholders Partnership di Bali, gagasan tersebut muncul sebagai salah satu solusi untuk mengatasi tantangan struktural yang dihadapi UMKM mikro.
Di balik paparan penuh optimisme tersebut, terdapat sejumlah isu yang perlu ditinjau secara lebih kritis, terutama terkait efektivitas kebijakan dan realisasi di lapangan.
Baca juga: Hari Pelanggan Nasional 2024 dan Pentingnya Pelayanan Prima untuk UMKM
Mendorong pembiayaan mikro adalah langkah strategis, namun upaya ini tidak hanya sebatas penyaluran modal.
Dalam dunia UMKM, terutama mikro, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks.
Sektor ini kerap terjepit antara kurangnya agunan dan tingginya suku bunga pinjaman, sehingga pelaku usaha sulit berkembang.
Seringkali, program-program pembiayaan yang seharusnya inklusif justru tidak menjangkau kelompok yang paling rentan dan membutuhkan.
Inovasi dalam skema pembiayaan, seperti kredit berbasis skoring tanpa agunan dan kolaborasi dengan platform peer-to-peer lending serta securities crowd funding, tentu patut diapresiasi.
Baca juga: Mendorong UMKM Naik Kelas: Antara Retorika dan Realitas
Namun, inovasi ini hanya akan berdaya guna jika didukung oleh regulasi yang mumpuni dan sistem evaluasi yang berkelanjutan.
Sayangnya, inovasi tanpa implementasi yang menyeluruh kerap hanya menjadi janji manis yang tidak dapat direalisasikan di lapangan.
Salah satu persoalan utama yang kerap terabaikan adalah ketergantungan UMKM mikro terhadap lembaga keuangan yang cenderung formal dan berorientasi pada keuntungan.
Tanpa adanya alternatif pembiayaan yang lebih mudah diakses oleh pelaku usaha dengan modal terbatas, sektor ini akan terus tertinggal.
Koperasi yang selama ini diharapkan menjadi solusi sering kali terjebak dalam masalah tata kelola yang lemah.
Koperasi produktif yang digadang-gadang sebagai solusi pembiayaan mikro juga masih memiliki ruang besar untuk perbaikan, khususnya dalam hal efisiensi dan transparansi.
Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan komunitas lokal memang menjadi kunci utama.
Namun, sinergi tersebut hanya akan berarti jika seluruh pihak benar-benar memiliki komitmen yang sama untuk mengangkat UMKM ke level yang lebih tinggi.
Baca juga: Mengubah UMKM Indonesia, dari Sekadar Bertahan Hidup ke Daya Saing Global
Selama ini, banyak program yang terlihat bagus di atas kertas, tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan karena kurangnya koordinasi antar lembaga.
Evaluasi dan monitoring berkala juga menjadi poin penting dalam menjaga keberlanjutan program pembiayaan mikro. Namun, ini bukan sekadar formalitas.
Proses evaluasi harus dirancang untuk benar-benar mengidentifikasi tantangan dan memberikan solusi yang relevan.
Jika tidak, program yang dijalankan berisiko tidak mencapai sasaran dan hanya menghamburkan anggaran tanpa dampak nyata.
Menteri Teten menargetkan peningkatan rasio pembiayaan oleh lembaga keuangan hingga 30 persen pada tahun 2024.
Target ambisius ini jelas memerlukan lebih dari sekadar inisiatif lokal. ASEAN Micro and Small Enterprises Financing Institution (AMSEF), yang diharapkan dapat meningkatkan akses keuangan bagi UMKM, merupakan langkah yang tepat.
Namun, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada bagaimana regulasi dan kebijakan lintas negara di ASEAN dapat diselaraskan dengan kebutuhan spesifik UMKM di masing-masing negara.
Pada akhirnya, upaya memperluas akses pembiayaan mikro bukanlah sekadar soal menambah jumlah dana yang tersedia, melainkan menciptakan sistem yang dapat memfasilitasi pertumbuhan UMKM mikro secara berkelanjutan.
Jika ini berhasil, maka kita bisa berharap sektor usaha mikro di Indonesia mampu bertransformasi dari penggerak ekonomi kecil menuju pemain utama dalam perekonomian nasional.
Namun, jika tidak, program-program ini hanya akan menjadi retorika tanpa hasil nyata. (SG-2)