ACARA Puncak Apresiasi MikroeX Summit 2024 di Bali menjadi momentum penting bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.
Namun, di balik selebrasi dan pencapaian yang diumumkan, tantangan besar masih membayangi upaya pemerintah untuk membawa UMKM naik kelas dan bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Dua tantangan klasik, yakni permodalan dan akses pasar, kembali menjadi sorotan utama.
Baca juga: Menghapus Utang UMKM, Langkah Nyata atau Strategi Populisme?
Meski pemerintah berkomitmen mendorong Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan peluang digitalisasi ekonomi, implementasi di lapangan sering kali terhambat oleh birokrasi, minimnya literasi keuangan, dan ketidaksiapan pelaku usaha untuk beradaptasi.
Perlu Solusi Sistemik untuk Pelaku UMKM
Solusi sistemik diperlukan agar akses modal tidak hanya tersedia, tetapi juga dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku UMKM di seluruh pelosok negeri.
Sementara itu, digitalisasi menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari. UMKM tidak lagi dapat mengandalkan metode konvensional dalam menjalankan usahanya.
Sayangnya, adopsi teknologi di kalangan UMKM masih berjalan lambat.
Banyak pelaku usaha yang belum memiliki pengetahuan dan infrastruktur memadai untuk bersaing di pasar digital.
Program Digitalisasi UMKM Bukan Sekadar Slogan
Pemerintah perlu memastikan bahwa digitalisasi bukan hanya menjadi slogan, tetapi sebuah ekosistem yang inklusif dan mendukung pertumbuhan usaha mikro.
Lebih jauh, partisipasi UMKM dalam rantai pasok industri nasional menjadi isu strategis yang patut diperhatikan.
Baca juga: Mendorong UMKM Indonesia untuk Naik Kelas Antara Tantangan dan Harapan
Sektor manufaktur, yang mendominasi perekonomian Indonesia, seharusnya dapat menjadi arena bagi UMKM untuk memperluas pasar dan meningkatkan daya saing.
Namun, keterlibatan UMKM dalam rantai pasok sering kali terkendala standar kualitas, keberlanjutan produksi, dan konektivitas dengan industri besar.
Perlu ada sinergi konkret antara UMKM, pemerintah, dan sektor swasta untuk menjawab tantangan ini.
Apresiasi kepada pelaku UMKM, pendamping, dan pemerintah daerah yang berhasil mengakselerasi transformasi usaha mikro memang patut diberikan.
Namun, angka-angka capaian seperti 10,6 juta Nomor Induk Berusaha (NIB) atau ribuan sertifikasi halal dan kekayaan intelektual tidak boleh menjadi alasan untuk berpuas diri.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pelaku UMKM yang masih berjuang sekadar untuk bertahan, jauh dari bayangan “naik kelas” yang sering digaungkan.
Tanggung jawab besar juga ada di pundak pemerintah daerah.
Meski beberapa provinsi dan kota telah menunjukkan kemajuan dalam memfasilitasi UMKM, konsistensi dan keberlanjutan menjadi pertanyaan besar.
Baca juga: Kementerian UMKM dan HIPMI Jaya Bersinergi Dorong Pelaku UMKM Naik Kelas
Apakah program yang ada saat ini cukup kuat untuk menjawab dinamika ekonomi yang semakin kompleks?
Di sisi lain, UMKM juga harus didorong untuk lebih proaktif dalam memanfaatkan fasilitas dan regulasi yang telah disediakan.
Masih Terjebak dalam Pola Pikir Tradisional
Tidak sedikit yang masih terjebak dalam pola pikir tradisional dan kurang memahami pentingnya legalitas usaha, sertifikasi produk, atau literasi teknologi.
Tanpa perubahan paradigma ini, peluang besar yang tersedia akan sulit dimanfaatkan.
MikroeX Summit 2024 telah menunjukkan upaya pemerintah untuk membangun ekosistem UMKM yang lebih baik.
Namun, perjalanan masih panjang. Kolaborasi lintas sektor, penguatan edukasi, serta keberanian dalam menghadirkan kebijakan inovatif menjadi kunci agar UMKM benar-benar bisa menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Pada akhirnya, UMKM tidak hanya membutuhkan apresiasi, tetapi juga komitmen nyata dan keberlanjutan kebijakan.
Dengan pendekatan yang tepat, sektor ini dapat menjadi katalis utama dalam membangun ekonomi Indonesia yang lebih inklusif dan berdaya saing di tengah tantangan global.(SG-2)