PENURUNAN suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6% tampaknya disambut sebagai angin segar oleh sektor perbankan.
Harapannya, kebijakan ini bisa menjadi pendorong untuk meningkatkan penyaluran kredit, terutama bagi sektor yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional: usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kebijakan ini cukup untuk membangkitkan sektor UMKM yang saat ini sedang menghadapi banyak tantangan?
Baca juga: Perkuat UMKM dengan Teknologi Digital: Apakah Pelatihan Kemenkominfo Sudah Cukup Efektif?
Meskipun data menunjukkan kredit UMKM masih tumbuh, angkanya memperlihatkan pelambatan.
Pada Juli 2024, pertumbuhan kredit UMKM hanya mencapai 5,1% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.
Ini menandakan bahwa meskipun ada kenaikan, kecepatan pertumbuhan tersebut mulai melambat.
Kondisi ini menimbulkan keraguan tentang seberapa efektif penurunan suku bunga dapat memperbaiki situasi yang sedang terjadi.
Salah satu asumsi di balik kebijakan ini adalah bahwa dengan suku bunga yang lebih rendah, pelaku UMKM akan lebih tertarik untuk memanfaatkan fasilitas kredit.
Baca juga: Terobosan Pembiayaan UMKM, Mampukah ‘Credit Scoring’ Atasi Akses yang Terbatas?
Memang, biaya pinjaman yang lebih murah seharusnya membuat para pengusaha kecil lebih mudah mengakses pendanaan.
Namun, tantangan UMKM tidak berhenti hanya pada urusan suku bunga.
Banyak di antara mereka masih menghadapi kendala yang jauh lebih kompleks, seperti akses pasar yang terbatas, ketidakpastian ekonomi, serta minimnya pendampingan bisnis yang memadai.
Jadi, penurunan suku bunga hanya menawarkan satu bagian dari solusi.
Di sisi lain, beberapa bank tampak berupaya mengoptimalkan momen ini dengan memperluas penyaluran kredit UMKM.
Beberapa bahkan menetapkan target pertumbuhan kredit yang ambisius. Namun, upaya ini perlu diimbangi dengan pengelolaan risiko yang cermat.
Jangan sampai pertumbuhan kredit yang agresif malah berujung pada lonjakan kredit bermasalah di masa depan.
Baca juga: PON Expo XXI Aceh-Sumut: Momentum Penting untuk UMKM, Tapi Apakah Cukup?
Perbankan harus tetap menjalankan prinsip kehati-hatian agar pertumbuhan yang diharapkan dapat berkelanjutan.
Ada juga upaya inovatif dari sejumlah bank, seperti memberikan suku bunga khusus untuk sektor-sektor tertentu, misalnya bisnis berbasis lingkungan dan wanita pengusaha.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk strategi diferensiasi yang cerdas dalam merangkul segmen UMKM yang lebih spesifik.
Namun, sekali lagi, inovasi semacam ini harus disertai dengan dukungan yang komprehensif, tidak hanya berhenti pada pemberian kredit murah.
Secara keseluruhan, penurunan suku bunga BI memang memberikan peluang besar bagi kebangkitan UMKM, tetapi peluang ini tidak boleh dilihat sebagai solusi tunggal.
Tantangan yang dihadapi UMKM jauh lebih kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh. Bank dan UMKM harus bisa bersinergi, tidak hanya dalam hal pembiayaan tetapi juga dalam pendampingan dan dukungan yang berkelanjutan.
Jika semua pihak mampu memanfaatkan momen ini dengan baik, penurunan suku bunga bisa menjadi titik awal kebangkitan UMKM yang lebih solid.
Namun, tanpa pendekatan yang komprehensif, kebijakan ini bisa saja hanya menunda masalah-masalah yang lebih besar di kemudian hari. (SG-2)