Editorial

Krisis Pajak UD Pramono, Nasib Ribuan Peternak di Ujung Tanduk

Langkah penutupan UD Pramono tak hanya mengancam keberlangsungan usaha pengolahan susu, tetapi juga mengancam mata pencaharian sekitar 1.300 peternak sapi perah di Boyolali dan sekitarnya. 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
11 November 2024
 Pemilik UD Pramono Boyolali, Pramono. (Tangkapan layar Youtube)

KABAR mengenai penutupan UD Pramono di Boyolali, Jawa Tengah (Jateng) akibat tunggakan pajak senilai Rp671 juta menjadi ironi pahit bagi ribuan peternak sapi perah yang bergantung pada industri ini. 

 

Langkah penutupan UD Pramono tak hanya mengancam keberlangsungan usaha pengolahan susu, tetapi juga mengancam mata pencaharian sekitar 1.300 peternak sapi perah di Boyolali dan sekitarnya. 

 

Situasi ini menuntut kita untuk mengevaluasi kembali apakah prosedur perpajakan di negara ini sudah benar-benar memperhitungkan dampaknya pada ekonomi perdesaan yang rentan.

 

Baca juga: Krisis Penyerapan Susu di Boyolali, Jateng, 50 Ribu Liter Susu Terbuang

 

UD Pramono bukan sekadar usaha pengolahan susu, tetapi juga menjadi penghubung vital antara peternak kecil dan pasar yang lebih luas. 

 

Setiap hari, sekitar 20.000 liter susu dari tujuh kecamatan di Boyolali dan satu kecamatan di Klaten diserap oleh UD Pramono. 

 

Selama bertahun-tahun, usaha yang didirikan Mbah Pramono ini telah menjadi sandaran para peternak untuk menjual hasil perahan dengan harga kompetitif. 

 

Tidak hanya itu, UD Pramono dikenal karena komitmennya untuk membantu peternak, mulai dari bantuan pakan hingga kredit tanpa bunga.

 

Namun, masalah pajak yang tidak terselesaikan berujung pada pemblokiran rekening UD Pramono, yang memaksanya menjual enam ekor sapi demi mencoba mengatasi krisis ini. 

 

Sayangnya, itikad baik ini belum cukup untuk menghindarkan usaha dari penutupan. 

 

Baca juga: KPSP Setia Kawan di Pasuruan, Jatim, Raup Miliaran Rupiah dari Usaha Perah Susu Sapi

 

Di tengah harapan untuk memperoleh solusi yang lebih adil, langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memblokir rekening UD Pramono terlihat seolah mengesampingkan aspek sosial dan ekonomi yang sangat krusial.

 

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Agung Suganda, menggarisbawahi pentingnya keberlangsungan UD Pramono, karena industri ini menopang ekonomi perdesaan dan mendukung program pangan bergizi. 

 

Akan tetapi, harapan dari pihak kementerian dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini sebaiknya tidak berakhir hanya sebagai janji belaka. Upaya konkret harus segera dilakukan sebelum lebih banyak peternak kehilangan mata pencaharian mereka.

 

Penting bagi DJP untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih bijaksana dan humanis, terutama dalam menagih pajak dari usaha yang memberikan dampak sosial sebesar UD Pramono. 

 

Meski alasan prosedural dijadikan dalih dalam pemblokiran ini, pemerintah harus menyadari bahwa langkah tersebut menempatkan ribuan peternak dalam posisi genting. 

 

Pendekatan yang mengutamakan dialog dan solusi finansial yang lebih fleksibel seharusnya menjadi pilihan, bukan langsung menutup jalan hidup ribuan peternak kecil.

 

Selain itu, persoalan ini mengingatkan kita pada lemahnya dukungan terhadap industri susu lokal. 

 

Di tengah gempuran impor, usaha lokal justru sering kali harus berjuang sendiri, tanpa bantuan signifikan dari pemerintah. 

 

Ironisnya, saat industri seperti UD Pramono harus bertahan di tengah ketidakpastian pasar dan ketergantungan pada susu impor, ia justru dibebani prosedur pajak yang ketat dan tidak fleksibel.

 

Krisis pajak UD Pramono harus menjadi cerminan bahwa kebijakan perpajakan nasional memerlukan revisi yang lebih adaptif terhadap kondisi usaha di lapangan, khususnya yang menyentuh sektor ekonomi perdesaan. 

 

Baca juga: Mentan Amran Ajak Pengusaha Peternakan Jawa Barat Wujudkan Swasembada Daging

 

Bagaimana nasib para peternak yang bergantung pada UD Pramono? Bagaimana perekonomian lokal Boyolali bertahan jika usaha seperti ini terpaksa berhenti?

 

Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, sudah saatnya kebijakan pajak tidak hanya sebatas prosedur, tetapi juga berfungsi sebagai alat yang mendukung kehidupan ekonomi perdesaan. 

 

Mengatasi krisis UD Pramono seharusnya menjadi prioritas, bukan hanya sebagai respons sementara, tetapi juga sebagai fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih adil bagi semua pelaku usaha di negeri ini. (SG-2)