DENGAN sisa waktu kurang dari dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang patut dipertanyakan.
Kali ini, keputusan terkait ekspor pasir laut, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan aktivis lingkungan dan masyarakat pesisir.
Kebijakan ini sangat kontras dengan langkah tegas yang diambil oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dua dekade lalu, yang melarang ekspor pasir laut demi melindungi lingkungan.
Baca juga: Komisi VI DPR akan Panggil Mendag Terkait Kebijakan Kontroversial Ekspor Pasir Laut
Larangan tersebut diberlakukan melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 sebagai bentuk upaya mencegah kerusakan ekologis akibat pengerukan pasir laut secara besar-besaran.
Langkah ini menunjukkan komitmen yang kuat terhadap kelestarian lingkungan. Namun, kebijakan terbaru justru tampak seperti langkah mundur.
Ancaman Lingkungan dan Ekologi
Pemerintah berdalih bahwa pasir yang akan diekspor adalah hasil sedimentasi laut, tetapi pada kenyataannya, bentuk material tersebut tetaplah pasir laut.
Pengerukan pasir laut, bagaimanapun juga, membawa dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem laut. Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, menegaskan bahwa aktivitas ini akan memicu kerusakan lingkungan yang serius, termasuk potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah pengerukan.
Risiko ini bukan hanya berimbas pada keanekaragaman hayati laut, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat pesisir, terutama nelayan, yang akan kehilangan akses ke sumber mata pencaharian mereka.
Pengerukan pasir laut untuk ekspor membuka pintu bagi marginalisasi komunitas pesisir yang sudah terpinggirkan oleh kebijakan yang kurang berpihak pada mereka.
Pendapatan Ekonomi vs Kerusakan Lingkungan
Salah satu argumen yang diajukan pemerintah untuk membenarkan ekspor pasir laut adalah potensi peningkatan pendapatan negara.
Namun, Fahmy dengan tegas menolak klaim tersebut. Menurutnya, penerimaan dari ekspor pasir laut selama ini tergolong kecil dan jauh dari sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.
Baca juga: Pakar UGM: Hentikan Ekspor Pasir Laut Demi Lindungi Lingkungan dan Kedaulatan
Biaya ekonomi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi sesaat yang diperoleh dari aktivitas ekspor tersebut.
Ekspor pasir laut seolah hanya menjadi ilusi kemakmuran jangka pendek, yang pada kenyataannya akan meninggalkan jejak panjang kerusakan lingkungan.
Dengan kata lain, keuntungan yang diharapkan tak sebanding dengan dampak ekologis yang harus ditanggung oleh generasi mendatang.
Singapura Dapat Manfaat, Indonesia Merugi
Lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan ironi besar dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangganya, terutama Singapura, yang diprediksi menjadi pembeli utama pasir laut Indonesia.
Baca juga: Hari Hutan Indonesia: Melawan Deforestasi untuk Masa Depan Lebih Hijau
Pasir laut ini akan digunakan untuk memperluas daratan Singapura melalui proyek reklamasi. Singapura memperbesar wilayahnya.
Sementara Indonesia terancam kehilangan pulau-pulau kecil yang tenggelam akibat pengerukan pasir.
Apakah ini bukan sebuah ironi yang menyakitkan?
Selain potensi hilangnya pulau-pulau kecil, Fahmy juga memperingatkan risiko lebih besar yang berkaitan dengan batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura.
Proyek reklamasi yang dilakukan Singapura bisa memengaruhi batas-batas teritorial laut Indonesia, yang secara langsung berhubungan dengan kedaulatan negara.
Menjual Tanah Air?
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, memang telah berjanji bahwa ekspor pasir laut tidak akan mengancam kedaulatan negara.
Namun, realitas di lapangan berbicara lain. Secara normatif, ekspor pasir laut ini sama dengan "menjual" tanah-air—secara harfiah dan simbolis.
Pasir laut bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari warisan alam Indonesia yang seharusnya dilindungi, bukan dijual ke luar negeri dengan harga murah.
Keputusan pemerintah untuk melanjutkan kebijakan ini menunjukkan kurangnya pertimbangan terhadap dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Daripada memprioritaskan kepentingan jangka pendek yang merugikan, pemerintah seharusnya memikirkan langkah yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada rakyat serta kelestarian alam.
Perlunya Tindakan Cepat
Dengan semua risiko besar yang terlibat, pemerintah perlu segera menghentikan kebijakan ekspor pasir laut ini. Kesejahteraan lingkungan dan masyarakat pesisir harus menjadi prioritas utama.
Kebijakan yang menempatkan kepentingan ekonomi sesaat di atas kelestarian lingkungan dan kedaulatan negara bukanlah kebijakan yang bijak, apalagi jika harga yang harus dibayar begitu mahal.
Indonesia harus belajar dari masa lalu dan menghindari kesalahan yang bisa berakibat fatal di masa depan. Lingkungan yang rusak tidak bisa diperbaiki dalam sekejap, dan pulau-pulau yang hilang tidak akan pernah kembali.
Kini saatnya pemerintah bertindak tegas dan berhenti memandang lingkungan sebagai komoditas belaka. (SG-2)