KURANG dari dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan yang menuai kontroversi.
Kali ini, keputusan terkait ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menjadi sorotan, karena dinilai merugikan masyarakat dan lingkungan.
Kebijakan ini sangat kontras dengan kebijakan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, yang melarang ekspor pasir laut melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003. Larangan tersebut diberlakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat pengerukan pasir laut.
Baca juga: Komisi VI DPR akan Panggil Mendag Terkait Kebijakan Kontroversial Ekspor Pasir Laut
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, M.B.A., menyampaikan kritik tajam terkait kebijakan terbaru ini.
Dalam pernyataannya di Kampus UGM, Yogyakarta, Kamis (19/9) , Fahmy menegaskan bahwa meskipun pemerintah berdalih yang diekspor adalah hasil sedimentasi laut, pada dasarnya bentuknya tetap pasir laut, dan aktivitas pengerukan ini tetap memiliki dampak negatif yang besar terhadap ekosistem laut.
"Pengerukan pasir laut, bagaimanapun bentuknya, akan memicu kerusakan lingkungan dan ekologi laut yang sangat serius,” ujar Fahmy sebagaimana dilansir situs UGM.
"Bahkan, berpotensi menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, yang jelas akan membahayakan masyarakat pesisir," tegas Fahmy.
Selain mengancam ekosistem, kebijakan ini juga dinilai dapat memarginalkan para nelayan yang kehilangan akses ke laut akibat aktivitas pengerukan.
Fahmy juga mempertanyakan argumen bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan negara.
“Penerimaan negara dari ekspor laut, termasuk pasir laut, selama ini kecil. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ekspor jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh,” jelas Fahmy.
Baca juga: Hari Lingkungan Hidup, Kota Bandung Berkomitmen untuk Masa Depan yang Lebih Hijau
Menurutnya, kebijakan ekspor pasir laut yang tidak berimbang dengan pendapatan yang dihasilkan ini tidak layak untuk dilanjutkan.
Biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada keuntungan ekonomi yang diperoleh.
Baca juga: Hari Hutan Indonesia: Melawan Deforestasi untuk Masa Depan Lebih Hijau
Lebih jauh, Fahmy memperingatkan bahwa pengerukan pasir laut untuk kepentingan ekspor, terutama ke Singapura, dapat menimbulkan ironi besar.
Singapura, satu-satunya negara yang diyakini akan membeli pasir laut Indonesia untuk reklamasi lahan, justru berpotensi memperluas daratannya.
Sementara itu, Indonesia berisiko kehilangan pulau-pulau kecilnya yang tenggelam akibat pengerukan.
“Ini ironis sekali. Daratan Singapura akan meluas, sementara Indonesia kehilangan pulau-pulaunya. Bahkan, batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura bisa terdampak karena reklamasi tersebut,” lanjut Fahmy.
Meski Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah berjanji bahwa ekspor pasir laut tidak akan menjual kedaulatan negara, Fahmy menilai fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Baca juga: DPR Desak KLHK Percepat Reklamasi di Kawasan PT Timah
“Ekspor pasir laut ini, secara normatif, sama dengan menjual tanah-air yang merepresentasikan negara. Untuk itu, kebijakan ini harus segera dihentikan,” pungkas Fahmy.
Dengan semua risiko yang dihadapi, Fahmy mendesak pemerintah untuk segera menghentikan kebijakan ekspor pasir laut dan memprioritaskan perlindungan lingkungan serta kesejahteraan rakyat pesisir. (SG-2)