SETIAP 16 Oktober, Hari Pangan Sedunia kembali mengingatkan kita tentang hak mendasar manusia untuk mendapatkan pangan yang layak.
Tahun ini, tema "Right to Food for a Better Life and a Better Future" seolah menjadi panggilan yang relevan untuk Indonesia, negara yang dikenal sebagai agraris, namun menghadapi ancaman serius dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Ironi yang kita saksikan hari ini adalah bagaimana negara yang kaya akan sumber daya alam ini justru masih terjebak dalam ketergantungan impor pangan, menghadapi dampak perubahan iklim yang menghantam sektor pertanian, dan tata kelola yang jauh dari optimal.
Baca juga: Pemkot Bandung Kembangkan Sorgum sebagai Energi Baru Terbarukan dan Ketahanan Pangan
Paradoks Negeri Agraris
Indonesia seharusnya menjadi lumbung pangan dunia. Namun, kenyataan pahit menunjukkan sebaliknya.
Indonesia masih sangat bergantung pada impor komoditas pokok seperti beras, gandum, kedelai, bahkan bawang putih.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini mengatakan jika dilihat dari nilainya, total impor beras tersebut sebesar US$1,91 miliar.
Total impor beras dari Januari hingga Agustus 2024 mencapai 3,05 juta ton atau senilai US$1,91 miliar dan memberikan andil 1,05 persen dari total nilai impor non migas Indonesia.
Baca juga: Indonesia Proyeksikan Impor Beras 5,17 Juta Ton pada 2024, Rekor Tertinggi dalam Sejarah
Di manakah letak kesalahan ini? Bukankah lahan kita luas, subur, dan kaya akan sumber daya alam?
Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya tata kelola pertanian.
Para petani, yang seharusnya menjadi garda depan ketahanan pangan, terpaksa bergulat dengan berbagai masalah—dari akses lahan yang terbatas, minimnya dukungan teknologi, hingga kesulitan modal.
Baca juga: Kementan dan Polri Jalin Kerja Sama Perkuat Ketahanan Pangan Nasional
Kondisi ini diperparah oleh distribusi pangan yang belum efisien, menyebabkan harga bahan pokok melambung dan tidak stabil.
Ironisnya, meski kita mampu memproduksi banyak, distribusi yang buruk dan kebijakan yang tidak mendukung membuat kita terjebak dalam krisis pangan di negara agraris.
Dampak Perubahan Iklim yang Mengerikan
Perubahan iklim menambah tekanan pada sektor pangan. Siklus tanam yang tidak menentu akibat kekeringan, banjir, dan cuaca ekstrem menjadi bencana bagi petani di seluruh negeri.
Daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur dan sebagian Jawa, yang dulu dikenal sebagai lumbung pangan, kini terancam kehilangan produktivitas akibat kekeringan berkepanjangan.
Krisis iklim tidak hanya memukul produksi pangan, tapi juga membuat kita mempertanyakan ketahanan pangan kita sendiri.
Bagaimana Indonesia bisa bertahan jika sumber pangannya semakin rentan terhadap perubahan lingkungan yang tak terkendali?
Baca juga: DPR Desak Kementan Segera Susun Skema Tepat untuk Distribusi Pupuk Subsidi
Pemerintah memang berupaya menghadirkan program mitigasi dan adaptasi, namun dampaknya belum terasa.
Petani kecil, yang paling terdampak, belum sepenuhnya mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk beradaptasi dengan realitas iklim baru ini.
Ketahanan Pangan atau Ketergantungan Impor?
Slogan "ketahanan pangan" yang sering diulang pemerintah kini menjadi sekadar retorika.
Di satu sisi, berbagai program seperti food estate dan pembukaan lahan baru terus digaungkan sebagai solusi untuk meningkatkan produksi pangan.
Namun, di sisi lain, angka impor terus naik. Ketergantungan ini jelas merupakan ancaman serius bagi kedaulatan pangan kita.
Program food estate, yang diharapkan mampu menjadi jawaban atas krisis pangan, ternyata masih menghadapi berbagai kendala.
Isu lingkungan dan keberlanjutan menjadi perhatian besar, sementara hasil nyata di lapangan masih jauh dari harapan.
Pemusatan lahan di tangan korporasi besar tanpa melibatkan petani lokal secara inklusif hanya memperlebar kesenjangan di sektor pertanian.
Alih-alih menjadi solusi, program ini justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru.
Penguatan Lokal sebagai Solusi
Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial dan potensi lokal yang sangat besar untuk mandiri dalam hal pangan.
Namun, sayangnya kebijakan pemerintah sering kali lebih menguntungkan korporasi besar ketimbang petani kecil dan UMKM di sektor pertanian.
Padahal, memperkuat petani lokal dan UMKM pangan adalah langkah strategis untuk membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Diversifikasi pangan juga menjadi kunci penting. Ketergantungan kita pada beras sebagai makanan pokok harus segera diatasi.
Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang beragam seperti sagu, sorgum, dan umbi-umbian.
Sayangnya, potensi ini belum mendapatkan perhatian serius dalam kebijakan pangan nasional.
Jika pangan lokal ini diberdayakan, kita tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani di seluruh pelosok negeri.
Reformasi Kebijakan Pangan
Jika Indonesia ingin mencapai ketahanan pangan yang sejati, pendekatannya harus lebih holistik dan inklusif.
Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi yang melimpah, tetapi juga akses yang merata, kedaulatan pangan, dan keberlanjutan lingkungan.
Program-program seperti food estate perlu dilanjutkan, tetapi dengan pendekatan yang lebih inklusif, melibatkan petani kecil, dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Hari Pangan Sedunia ini harus menjadi momentum refleksi bagi kita semua.
Pemerintah perlu lebih serius dalam memberdayakan petani, meningkatkan investasi di sektor pertanian, dan mendorong inovasi teknologi yang berkelanjutan.
Selain itu, masyarakat juga harus didorong untuk lebih mengapresiasi dan mengonsumsi pangan lokal, sehingga kita bisa mengurangi ketergantungan pada impor dan sekaligus mendukung ekonomi pedesaan.
Masa Depan Ketahanan Pangan Indonesia
Di tengah krisis pangan global yang mengintai, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat sistem pangannya.
Namun, semua itu tidak akan terwujud jika kebijakan yang ada tidak dilaksanakan dengan baik dan adil.
Ketahanan pangan sejati hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, petani, UMKM, dan masyarakat luas.
Dengan komitmen bersama, kita bisa membangun sistem pangan yang berkelanjutan, mandiri, dan kuat.
Hari Pangan Sedunia bukan hanya sekadar peringatan tahunan, tetapi panggilan untuk aksi nyata.
Ini adalah momen kita untuk melakukan perubahan—membangun sistem pangan yang adil, berkelanjutan, dan memastikan tidak ada lagi warga yang kelaparan di negeri yang kaya raya ini. (SG-2)