SokoBisnis

Ekosistem Industri Bioetanol di Indonesia Segera Terwujud, Menkop Ferry Sebut Bisa Libatkan Koperasi Petani

Untuk Ekosistem bioethanol bukan gabungan kelompok tani, melainkan koperasi. Harus ada plasma petani yang terorganisir melalui koperasi, dengan Toyota intinya.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
24 Oktober 2025
<p>Menteri Koperasi (Menkop) Ferry Juliantono menghadiri  acara Rapat Pembahasan Percepatan Rencana Investasi Bioetanol, di kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Jakarta, Kamis, 23 OKtober 2025. (Dok. Kemenkop)</p>

<p> </p>

Menteri Koperasi (Menkop) Ferry Juliantono menghadiri  acara Rapat Pembahasan Percepatan Rencana Investasi Bioetanol, di kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Jakarta, Kamis, 23 OKtober 2025. (Dok. Kemenkop)

 

SOKOGURU, JAKARTA-  Ekosistem industri bioetanol tak lama lagi bisa segera terwujud karena memang sudah diinisiasi Kementerian Investasi dengan menyiapkan segala regulasinya. 

Pemerintah Provinsi Lampung bahkan sudah menyiapkan lahan ratusan ribu hektare (ha)  untuk bahan baku, seperti ubi kayu, tebu, dan jagung.

Langkah Kementerian Koperasi (Kemenkop) untuk masuk ke dalam suatu ekosistem industri bioethanol di Indonesia, melalui koperasi pun semakin terbuka lebar. 

Baca juga: Transformasi Gapoktan Jadi Koperasi, Momentum Reformasi Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Hal itu disampaikan Menteri Koperasi (Menkop) Ferry Juliantono, pada acara Rapat Pembahasan Percepatan Rencana Investasi Bioetanol, di kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Jakarta, Kamis, 23  Oktober 2025.

“Terlebih lagi, saat ini, sudah ada beberapa pihak diantaranya Toyota Motor Manufacturing Indonesia (produsen mobil), Pemprov Lampung (penyedia produk pertanian untuk bahan baku etanol), hingga Kementerian Investasi dan Hilirisasi terkait regulasi, yang siap menapaki produksi bioetanol di Indonesia,” jelasnya, seperti dikutip keterangan resmi Kemenkop, Jumat, 24 Oktober 2025.

Kemenkop, sambung Ferry, juga memiliki semangat yang sama dalam mengembangkan potensi bioetanol di Indonesia.

Baca juga: Perluas Lapangan Kerja dan Tingkatkan Daya Saing, Kementerian UMKM Dorong Hilirisasi Nilam

Turut hadir pada acara rapat tersebut Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, dan Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Nandi Julyanto.

"Regulasi dari Kementerian Investasi sudah ada, serta pihak Toyota juga berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Artinya, kami di Kemenkop tinggal membahas bagaimana model bisnisnya dengan skema inti plasma di mana koperasi juga terlibat," imbuh Menkop Ferry.

Dalam skema itu, lanjutnya,  intinya adalah Toyota, sedangkan plasmanya itu para petaninya yang bisa terkonsolidasi melalui koperasi. Diantaranya, koperasi petani ubi kayu, petani tebu, dan koperasi petani jagung.

Baca juga: Kemenperin Pacu Industri Kecil Menengah (IKM) Hilirisasi Kemenyan, Kembangkan Minyak Atsiri

"Untuk ekosistem itu, bukan gabungan kelompok tani (Gapoktan), tapi koperasi. Karena, jika Gapoktan tidak merujuk ke satu badan usaha. Harus ada plasma petani yang terorganisir melalui koperasi petani, dengan Toyota sebagai intinya," terang Ferry lagi.

Namun, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu, Menkop mewanti-wanti jangan sampai plasmanya ketinggalan, sedangkan di sisi lain intinya berjalan terlalu cepat. 

"Harus selalu ada perbaikan dalam ekosistem inti plasma ini," ucapnya.

Menkop Ferry mendukung penuh ekosistem bioetanol ini dalam model koperasi, khususnya nanti dalam operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Menurut Menkop, Kopdes Merah Putih memang diminta oleh Presiden Prabowo Subianto, bukan hanya sebagai tempat untuk menyalurkan dan menjual barang-barang, tapi juga berfungsi sebagai offtaker dari produk masyarakat

"Kalau itu bisa dilakukan bersama-sama, kita bisa sediakan alat-alatnya untuk fungsikan Kopdes Merah Putih sebagai offtaker. Saya rasa ini bagus," ucap Menkop.

Sementara Wamen Investasi Todotua Pasaribu menyatakan, ke depan Toyota emang bakal concern pada konsep kendaraan yang menggunakan bahan bakar hidrogen dan ethanol. 

"Dan kabar baiknya adalah Kementerian ESDM sudah menyebut kita sudah masuk ke bahan bakar E10, atau penggunaan ethanol 10%," katanya.

Artinya, lanjut Todotua, bila dengan E10, maka akan tercipta potensi captive market sekitar tiga jutaan kiloliter. 

"Bahkan, bisa mencapai kebutuhan empat juta ethanol. Kondisi itu harus kita seimbangkan dengan kekuatan produsi ethanol nasional," tambahnya.

Bahkan, menurut Todotua, pihak Toyota juga sudah siap untuk masuk pengamanan feedstock terhadap produk hidrogen dan ethanol. 

"Begitu juga akan terlibat dalam upstream-nya di industri ethanol," katanya lagi.

Masuk  ekosistem industri ethanol

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menyebutkan bahwa GDP Lampung itu sekitar 26% merupakan kontribusi sektor pertanian, sedangkan industri olahannya hanya 17-18%. "Jadi, masih sangat sedikit," ungkapnya.

Di sektor pertanian, produksi terbesarnya adalah singkong (nomor 1 nasional), berikutnya tebu (nomor 2 nasional), dan jagung (nomor 3 nasional), dengan luas lahan ratusan ribu ha. 

"Ketiga produk tersebut belum dioptimalkan secara maksimal," tambah Gubernur Rahmat.

Dengan kondisi seperti itu, ia mengaku, semangatnya meningkatkan potensi pertaniannya untuk masuk ke dalam ekosistem industri ethanol sebagai bahan baku. 

"Memang, di Lampung ada dua perusahaan etanol, namun masih terbatas dalam menyerap produk pertanian kami. Masih sangat over supply," ungkap Gubernur Lampung.

Di sisi lain, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Nandi Julyanto, menyatakan, pihaknya akan memaparkan hasil studi pihak Toyota terkait ethanol, hingga beberapa contoh penerapannya di beberapa negara, seperti Brazil, India, dan Thailand. 

"Ini bisa menjadi referensi untuk langkah kita selanjutnya ke depan," katanya. (SG-1)