SOKOGURU, SITUBONDO – Langkah Kabupaten Situbondo menggandeng Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dalam pengembangan produk kopi lokal adalah bukti bahwa kemajuan daerah tak lagi harus menunggu pusat.
Ketika pemerintah daerah berani berinovasi dan membangun sinergi cerdas dengan perguruan tinggi dan pelaku usaha, maka transformasi ekonomi rakyat bukan sekadar mimpi.
Dengan menggandeng anak perusahaan Unhas, PT Hadin Agrivisi Internusa, serta melibatkan Koperasi Merah Putih (KMP) di Desa Baderan, Situbondo, resmi menapaki jalan baru dalam dunia industri kopi.
Baca juga: Situbondo Resmi Jadi Kabupaten UMKM, Wamen Apresiasi Potensi Ekspor Anak Muda
Teknologi fermentasi ohmic yang digunakan dalam kerja sama ini merupakan terobosan penting.
Teknologi ohmic memungkinkan biji kopi difermentasi dengan cita rasa mendekati, bahkan mungkin melebihi, kopi luwak—tanpa harus bergantung pada proses alamiah melalui hewan luwak yang mahal dan tak selalu higienis.
Dalam konteks industri, ini adalah game changer. Teknologi ohmic heating memungkinkan proses yang lebih bersih, cepat, dan scalable.
Kopi Berkualitas Tidak Hanya Milik Segelintir Orang
Ketika satu cangkir kopi luwak di luar negeri bisa dijual seharga Rp1,2 juta, maka mengembangkan kopi dengan cita rasa serupa, namun harga lebih terjangkau, adalah bentuk demokratisasi selera—bahwa kopi berkualitas tidak hanya milik segelintir orang.
Baca juga: Kisah Sukses Restu Mande: UMKM Rendang Mendunia yang Juga Berdayakan Perempuan
Situbondo seakan menunjukkan bahwa kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bukan lagi urusan pelatihan konvensional semata, melainkan soal hilirisasi teknologi.
Tak Cukup Hanya Mengandalkan Branding dan Packaging
Tidak cukup hanya mengandalkan branding atau pengemasan (packaging), tetapi juga kualitas dan efisiensi produksi.
Dengan potensi panen mencapai 32 ton per hari di satu desa saja, ini bukan semata wacana. Ini adalah proyek serius yang menyentuh jantung ekonomi rakyat.
Lebih penting lagi, teknologi ini bukan datang untuk menggantikan manusia, melainkan mendampingi mereka naik kelas.
Baca juga: Mendag: UMKM Harus Siap Ekspor untuk Lawan Serbuan Produk Impor
Komitmen untuk mendampingi, melatih, dan mengintegrasikan petani dalam rantai nilai yang lebih besar adalah aspek penting dari kerja sama ini.
Inilah bentuk pembangunan inklusif yang sebenarnya: teknologi untuk rakyat, bukan sekadar jargon industrialisasi.
Keberanian Situbondo untuk membuka diri terhadap riset dan inovasi harus menjadi contoh bagi daerah lain. Terlalu lama teknologi tinggi hanya menjadi milik kota besar atau proyek pemerintah pusat.
Kini, dengan pendekatan triple helix antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha, Situbondo membuktikan bahwa daerah bisa menjadi pusat inovasi.
Sebagaimana pepatah bijak dalam bahasa Inggris mengatakan, “Innovation is the ability to see change as an opportunity—not a threat.” Inovasi adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai peluang, bukan ancaman.
Situbondo telah melihat peluang itu. Kini saatnya daerah lain belajar, bahwa kemajuan bukan tentang siapa yang paling kaya sumber daya, tapi siapa yang paling siap berinovasi.
Dan dalam hal ini, Situbondo telah membuat lompatan besar dari kebun kopi menuju panggung dunia. (Opini/Deri Dahuri) (*)