SOKOGURU, MAGELANG- Pengambilan api dan air suci merupakan ritual penting dalam perayaan Tri Suci Waisak. Kedua elemen itu diambil dari tempat berbeda di Jawa Tengah.
Pengambilan Api Dharma dari Sumber Api Alam Mrapen Desa Manggar Mas, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan dilakukan pada Sabtu, 10 Mei 2025. Sedangkan Air Suci Waisak diambil dari Umbul Jumprit Temanggung, Minggu, 11 Mei.
Api dan Air suci tersebut terlebih dulu disakralkan di Candi Mendut sebelum menjadi sarana puja pada detik-detik Waisak di Candi Borobudur, Senin, 12 Mei.
Baca juga: ASDP Siap Kawal Mobilitas Masyarakat dalam Libur Panjang Waisak 2025
Demikian disampaikan Perwakilan dari Bhikku Sangha, Bhante Subhacaro dan Rohaniawan Buddha Biksu Wongsin Labhiko Mahathera, secara terpisah.
Api, menurut Bhante Subhacaro, adalah simbol kebangkitan dan pencerahan. Melalui api itu, diharapkan ada spirit kuat untuk menghilangkan hal-hal bersifat buruk dan membangkitkan jiwa-jiwa yang baik.
"Setelah berhasil mengendalikan itu semua diharapkan bisa membangkitkan jiwa-jiwa yang baik dalam diri kita dan kesadaran untuk mengikis keserakahan, kebodohan serta kebencian. Jika ini terlaksana, wujud kesejatian akan muncul dan akhirnya kita mengembangkan cinta kasih, kasih sayang dan bisa mewujudkan perdamaian dunia," ujarnya, seperti dikutip dalam laman resmi Kementerian Agama (Kemenag).
Baca juga: Turut Sukseskan Tri Suci Waisak 2569 BE, InJourney Hadirkan Pilihan Akomodasi di Dekat Borobudur
Penggunaan Api Dharma Mrapen dalam kegiatan Waisak merupakan hal rutin. Prosesi pengambilan api dilakukan sekitar pukul 12.00 WIB oleh para bhikkhu sangha, perwakilan beberapa majelis umat Buddha, perwakilan dari Kementerian Agama, TNI, Polri, perwakilan pemerintah setempat dan beberapa instansi terkait.
Sebelum acara pengambilan Api Dharma, prosesi diawali dengan penyalaan lilin panca warna serta pembacaan paritta suci dari setiap majelis. Diantaranya majelis Sangha Theravada Dhamayut Indonesia, MBMI, Palpung, ZFZ Kasogatan, Sangha Mahayana Indonesia, dan Martrisia.
Lebih lanjut, Bhante Subhacaro,mengatakan, perdamaian dunia bisa terwujud jika rasa cinta kasih terus dikembangkan. Sebab jika sifat lobha bisa berkurang, otomatis perasaan-perasaan kepada semua makhluk akan timbul.
Baca juga: Dikunjungi 75 Ribu Umat pada Waisak 2024, Borobudur Jadi Episentrum Umat Buddha Dunia
“Sebaliknya jika yang dikembangkan adalah keserakahan, akan memicu sifat keserakahan bahkan peperangan. Ini sesungguhnya makna api sebagai wujud dari perdamaian. Ada pengendalian diri dan juga kasih sayang," imbuhnya.
Dengan demikian, sambung Bhante Subhacaro, melalui semangat Api Dharma, umat juga diharapkan memiliki tekad kuat untuk membangkitkan sifat-sifat baik dan memacu semangat dalam mengarungi kehidupan.
Selain itu, Api Dharma Mrapen juga bisa menjadi sarana melatih diri untuk membiasakan dalam perbuatan-perbuatan positif. Jika hal ini terbentuk, diyakini mampu melahirkan kesejatian abadi berupa tindakan yang tenang dan perdamaian.
“Ini selaras dengan tema Perayaan Hari Raya Waisak 2025, yaitu Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia.
Setelah melakukan perjalanan kurang lebih empat jam, Api Dharma tiba di Candi Mendut dan langsung di terima oleh Bhikkhu Sangha, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Nyoman Suriadarma, Wakil Panitia Waisak Nasional Karuna Murdaya dan tokoh agama.
Air Suci Waisak Disakralkan
Setelah pengambilan api di Mrapen, keesokan harinya, umat Buddha dari berbagai Sangha Walubi menggelar ritual pensakralan air suci Waisak di altar Candi Mendut Kabupaten Magelang.
Air suci Waisak disakralkan lebih dulu di Candi Mendut. (Dok.beritamagelang.id)
Air Suci Waisak yang diambil dari Umbul Jumprit Temanggung tiba di Candi Mendut sekitar pukul 15.25. Air dalam wadah kendi tanah liat itu kemudian disemayamkan di altar Candi Mendut melalui ritual puja bakti.
Doa dilakukan oleh majelis masing-masing yang dipimpin para bhikkhunya.
Biksu Wongsin Labhiko Mahathera mengatakan air merupakan sumber hidup yang sekaligus sebagai sarana mensucikan dan memberi kesejukan yang dibutuhkan semua makhluk.
"Tanpa air semua makhluk tidak bisa hidup di dunia ini," kata Biksu Wongsin, seperti dikutip laman resmi Pemerintah Kabupaten Magelang.
Dikatakan Wongsin, air berkah itu menjadi simbol membersihkan lahir bathin umat agar terhindar dari buruk sangka dan karma buruk.
Bagi umat Buddha, lanjutnya, dua sarana puja itu berasal dari tempat yang dianggap sakral dan sakti.
“Maka setelah didoakan akan diberikan untuk blessing (dipercikan) ke seluruh umat," ungkapnya.
Salah satu umat Buddha, Atrina, mengaku, setiap tahun ikut perayaan Waisak di Candi Borobudur.
Ia datang bersama rombongan umat Buddha dari Vihara Jembrana Bali. Baginya, dengan mengikuti puja bakti dan mendapat percikan air suci Waisak memberi energi positif dalam menjalani aktivitas.
"Rasanya (dipercikan air) itu ada kebahagiaan tersendiri, lebih bersinar, mendapat keberkahan," ujarnya. (SG-1)