SOKOGURU, JATINANGOR- Untuk mengembangkan produk kesehatan berbasis hasil riset menuju tahap komersialisasi, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui Unit Usaha Akademik (UUA) Unpad Farma menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Duta Niaga Indonesia Manunggal (DNIM).
Demikian keterangan resmi Unpad yang diterima Sokoguru, Kamis, 14 Agustus 2025.
Penandatanganan PKS itu menjadi agenda utama dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Komersialisasi Hasil Riset Farmasi untuk Kemandirian Bahan Baku Farmasi Nasional yang digelar di Fakultas Farmasi Unpad Jatinangor, Selasa 12 Agustus 2025.
Baca juga: Riset ‘Cangkang Telur’ Mahasiswa FKG Unpad Sabet Prestasi di Kompetisi Science Bangkok
Dalam sambutannya, Direktur Ketahanan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Jeffri Ardiyanto, menegaskan pentingnya langkah hilirisasi riset tersebut.
“Dengan tingkat ketergantungan impor bahan baku yang masih 80%-90%, pengembangan riset bahan alam dan produk fitofarmaka menjadi sangat strategis. Kemenkes mendukung penuh upaya ini, termasuk melalui regulasi dan fasilitasi pertemuan antara akademisi dan industri,” ujarnya seperti dikutip Kanal Media Unpad.
Penandatanganan PKS itu, sambung Jeffri, adalah momentum penting untuk memperkuat ekosistem inovasi dan mempercepat pemanfaatan hasil riset bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Miliki Antibakteri, Unpad bersama Kebun Efi Luncurkan Baby Rash Cream dan Efi Procare Propolis Gel
PKS ditandatangani oleh Dekan Fakultas Farmasi Unpad, Prof. Dr. apt. Ajeng Diantini, M.Si., Ketua UUA Unpad Farma, Prof. Dr. apt. Sriwidodo, M.Si., dan Direktur Utama PT DNIM, Lilik Dwi Hindratno.
Selain itu turut menyaksikan penandatanganan PKS, Jeffri Ardiyanto, dan Wakil Rektor Bidang Riset, Kerja Sama, dan Pemasaran Unpad, Prof. apt. Rizky Abdulah, M.Si., Ph.D.
Kerja sama berfokus pada pemanfaatan minyak kacang sacha inchi yang merupakan sumber alami omega 3, 6 dan telah dikembangkan tim peneliti Fakultas Farmasi Unpad.
Pengembangannya menjadi bahan baku minyak pharmaceutical grade itu bekerja sama dengan Quilla Herbal Indonesia selama 5 tahun terakhir menjadi formulasi siap industrialisasi.
Baca juga: Unpad Resmikan Tempat Pengolahan Sampah, Dukung Komitmen Wujudkan Kampus Hijau
Unpad Farma juga telah melahirkan 32 produk farmasi inovatif berbasis sacha inchi diantaranya Biosachi, Bioscrub, VOmega, Omegrow, Cosmetory, Creya, Sachi Cubratin, Svarga Serenity Sacha, Vetachi, yang mencakup kategori pangan fungsional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan produk pet-veteriner.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Riset, Kerja Sama, dan Pemasaran Unpad, Prof. apt. Rizky Abdulah, M.Si., Ph.D., menambahkan, perguruan tinggi memiliki fasilitas riset dan pengembangan yang dapat dimanfaatkan industri.
“Sehingga industri tidak perlu mengeluarkan investasi besar di awal. Apalagi, pemerintah telah memberi insentif berupa tax deduction 1:3 bagi industri yang berinvestasi dalam riset di perguruan tinggi,” ujarnya.
Riset di kampus, lanjut Rizky, harus diarahkan untuk menjawab masalah nyata di industri dan masyarakat, tidak boleh berhenti hanya di jurnal ilmiah.
“Melalui FGD ini, kita berharap lahir roadmap dan model kolaborasi yang saling menguatkan antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT DNIM, Lilik Dwi Hindratno, melihat potensi sacha inchi melampaui pasar lokal.
“Melalui kemitraan ini, kami ingin mengaplikasikan hasil riset Unpad, termasuk minyak sacha inchi, ke formulasi produk yang siap dipasarkan, dengan dukungan uji laboratorium dan data ilmiah,” ujarnya.
Ia berharap hilirisasi tidak berhenti di riset, tetapi berlanjut hingga produksi skala industri untuk pasar dalam negeri dan ekspor.
Penguatan ketahanan kesehatan nasional
Pada acara tersebut turut hadir Kepala Lembaga Farmasi Pusat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Puskesad), Kolonel Ckm Dr. apt. Drs. TPH Simorangkir, M.Si., CIT.
Ia menilai kolaborasi antara Unpad dan PT DNIM selaras dengan visi penguatan ketahanan kesehatan nasional. Simorangkir menekankan Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang dapat menjadi basis kemandirian bahan baku farmasi, asalkan diiringi pemetaan potensi wilayah, hilirisasi berbasis kekhasan lokal, dan sinergi lintas sektor tanpa ego sektoral.
“Kita perlu memastikan hasil riset tidak berhenti di laboratorium, tapi benar-benar masuk rantai pasok industri, memberi manfaat pada masyarakat, dan mendukung target Indonesia Emas 2045,” tambahnya.
Focus Group Discussion FGD dihadiri oleh seluruh unsur pentahelix dari ekosistem riset yang telah terbentuk, yaitu para akademisi beberapa perguruan tinggi, komunitas gabungan kelompok tani sacha inchi, industri bahan baku, industri produk farmasi, nutrasetikal, dan kosmetik, Kemenkes RI dan BBPOM di Bandung, serta kalangan media.
FGD menghadirkan pandangan lintas sektor yang saling melengkapi. Prof. Sriwidodo mengawali dengan menekankan bahwa riset harus berpijak pada keberlanjutan hulu.
“Kalau bahan mentahnya hilang, semua inovasi akan lumpuh. Maka, riset harus menyentuh sisi agronomi dan keberlanjutan pasok,” ujarnya.
Di sisi lain, Teguh Dwi Raharjo S.P. dari gabungan kelompok tani (gapoktan) menyampaikan pengalamannya sebagai petani.
Ia menggambarkan sacha inchi sebagai tanaman bernilai tinggi, tetapi sensitif di tahap pascapanen.
“Kadar minyak dan mutunya sangat tergantung cara panen dan pengeringan. Kalau ini gagal, harga jatuh, petani rugi, industri pun ikut terdampak,” ujarnya.
Hadiyan Nur Sofyan, S.T., M.P., CDMP, CNLPC, yang berperan sebagai jembatan antara riset dan industri, menyoroti, perlunya pihak yang memahami keterkaitan antara keduanya.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi para petani adalah ketika sudah berhasil memproduksi bahan baku, siapa yang mau membeli atau mengolah lebih lanjut bahan baku itu.
“Maka, jembatan ini penting agar riset tidak mandek di laboratorium, tapi juga tidak terjerumus dalam produksi tanpa basis ilmiah,” kata Hadiyan.
Sedangkan dari perspektif regulasi, apt. Leni Maryati, S.Si., M.Si. dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bandung, mengingatkan, peluang besar herbal harus diiringi dengan keamanan dan mutu.
“Regulasi bukan untuk menghambat, tapi memastikan produk bisa diterima konsumen dan pasar internasional. Hilirisasi harus selaras dengan standar ini,” imbaunya.
Stefanus Zakarias dari Inovasi Riset Bioteknologi (InRitek) saat menutup sesi diskusi mengingatkan urgensi eksekusi.
“Pasar global bergerak cepat. Kalau kita menunggu terlalu lama di meja registrasi atau uji pasar, peluang bisa diambil negara lain yang sudah siap lebih dulu,” katanya.
Diskusi tersebut juga mempertegas hilirisasi riset farmasi bukan sekadar alih teknologi, tetapi proses membangun rantai nilai yang kuat dari hulu ke hilir, mulai dari petani hingga konsumen, dengan industri dan regulasi berjalan seiring.
Melalui PKS dan FGD itu, Unpad menegaskan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan impor dan menjadikan Indonesia sebagai pusat inovasi sacha inchi di Asia. (SG-1)