JENAMA makanan beku Yuksri Ungkepan asal Blitar, Jawa Timur, sukses menjual 1.000 bebek dan ayam potong siap masak setiap minggunya. Jenama ini memproses semuanya mulai dari peternakan hingga tersaji di meja makan.
Wijaya Prima Saputra,36, pria asal Gresik yang tak tahu menahu soal peternakan memilih hijrah ke Kota Proklamator Presiden Soekarno di Blitar.
Babak baru itu, ia buka pada 2016 dengan berbekal nyali dan sejumlah data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa kota itu salah satu penghasil telur terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 10.000 peternak dan produksi mencapai 22.000 ton per tahun.
Baca juga: Dorong Kosmetik Lokal Tembus Pasar Global, Sertifikasi Halal Jadi Kunci Penting
Ia tak menampik bahwa Blitar adalah kota yang sunyi, industri besar tidak ada atau peluang pekerjaan kantoran pun minim. Alih-alih sebagai kota yang menjanjikan, Blitar lebih mendekati sebagai kota tempat istirahat di masa tua.
Walaupun begitu, pria berambut gondrong itu pun membidik dua potensi kota itu, yakni pertanian dan peternakan.
“Blitar itu enggak ada pabrik besar atau perkantoran. Jadi, ya hidup masyarakatnya banyak bergantung ke pertanian dan peternakan,” kata Wijaya saat diwawancarai Sokoguru di Aston Hotel Bandung, baru-baru ini.
Baca juga: Pulas Katumbiri Berbagi Ruang dengan Difabel untuk Berkarya
Tak tanggung-tanggung, pada tahun itu ia memboyong keluarganya untuk pindah dari Gresik ke Blitar. Tanah yang ia sewa, sengaja bersebelahan dengan para peternak bebek.
“Awalnya kanan-kiri tetangga saya juga peternak. Masa saya enggak kecipratan?” ujarnya sambil tertawa.
Gayung bersambut, ia mulai belajar dari para suhu peternakan bebek yang ia temui. Wijaya pun disarankan berternak bebek. Lalu ia pun mula merintis peternakan bebek.
Baca juga: Cemara Paper Menjembatani Mimpi dan Kemandirian Penyandang Disabilitas
Dimulai dari membeli bibit day old duck (DOD) yakni bibit bebek peking berumur satu hari yang dibesarkan untuk menjadi bebek pedaging, peternakan cikal bakal jenama Yuksri Ungkepan itu pun mulai beroperasi. Selain itu, ia juga melakukan riset mengenai kebutuhan dasar bebek agar bisa tumbuh sehat dan optimal.
Kualitas air adalah salah satu kunci utama dalam beternak bebek. Bebek memiliki kebiasaan alami bermain dan berendam di air, atau dalam bahasa Jawa disebut kecek. Air bersih dan jernih tidak hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga berperan besar dalam menjaga kesehatan unggas ini.
Di Blitar, sumber air dari pegunungan memberikan dampak positif pada pertumbuhan bebek. Selain itu, tanah di kawasan ini kaya unsur hara, memperkuat imunitas bebek secara alami.
"Bebek nggak bisa di kandang panggung, mereka harus langsung di tanah supaya tumbuh sehat," jelas Pria yang memutuskan resign dari salah satu BUMD di Kota Pahlawan, Surabaya ini lagi.
Untuk menekan risiko penyakit, terutama pada masa kritis di usia 1-2 minggu, Wijaya menggunakan probiotik dan rempah sebagai suplemen pakan. Kombinasi jahe dan kunyit berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh, mencegah kematian dini pada bebek muda.
"Kita nggak pakai hormon, jadi pertumbuhan dan kesehatannya benar-benar alami," tambahnya.
Probiotik memperlancar pencernaan dan membantu unggas tumbuh optimal tanpa ketergantungan pada pakan pabrikan.
Lebih lanjut, Lulusan SMAN 1 Gresik memilih fokus pada bebek pedaging putih yang lebih unggul untuk pasar konsumen. Bebek dipelihara selama 40 hari hingga siap potong, menghasilkan daging yang rendah kolesterol dan aman bagi konsumen yang rentan alergi.
"Berkat pengolahan alami, produk kami lebih sehat. Bahkan yang biasa alergi bebek bisa makan tanpa efek samping," katanya.
Hadapi rintangan
Perjalanan panjang Wijaya beternak tak selalu manis apalagi di hadapan tengkulak. Wijaya mengeluhkan praktik yang dilakukan tengkulak terkait penentuan harga yang terkadang membuat bisnis ini hanya menyajikan kebuntungan saat harga pakan kian meroket.
“Kita yang beternak, tapi yang sejahtera itu tengkulak. Mereka datang sudah bawa harga, dan kita enggak bisa nawar meski pakan naik,” ujarnya.
Harga pakan yang terus naik dan ketidakpastian pasar menjadi masalah besar bagi peternak kecil seperti Wijaya. Namun, ia belum punya alternatif lain.
Suatu hari pada 2020, saat pandemi covid-19 melanda Indonesia dan dunia, keadaan mengubah segalanya. Transportasi dibatasi, akses keluar-masuk kota diperketat, dan bebek-bebek di kandangnya semakin besar tanpa ada pembeli.
“Bebek terus makan, tapi enggak ada yang beli. Kalau dibiarkan, kami bisa rugi besar,” kenangnya.
Situasi mendesak itu membuat Wijaya mengambil langkah berani. Ia memutuskan untuk belajar memotong bebek dan mengolahnya sendiri. Awalnya, ia dan istrinya sempat mencoba membagikan daging bebek kepada tetangga. Namun, bebek bukanlah daging yang mudah diolah.
"Masak bebek itu susah, enggak semua orang bisa," kisahnya.
Dalam keadaan terdesak, bebek-bebek dalam freezer terus bertambah banyak Wijaya membeli resep bebek dari internet seharga 1,5 juta rupiah. Ia berharap resep itu bisa menjadi solusi. Namun, hasilnya justru mengecewakan.
"Bebeknya masih amis, dagingnya alot. Kayaknya yang jual resep juga gak bener-bener jual resep cuma nyari alternatif lain buat bertahan hidup," candanya.
Alih-alih menyerah, Wijaya justeru melihat ini sebagai tantangan. Bersama istrinya, ia mulai melakukan eksperimen tiada henti. Mereka mencoba berbagai kombinasi bumbu dan teknik memasak. Proses trial-and-error ini berlangsung berbulan-bulan. Setiap kali memasak, mereka akan meminta tetangga untuk mencicipi dan memberikan masukan.
“Ada yang bilang kurang empuk, ada yang bilang kurang asin. Tapi dari situlah kami terus belajar,” ungkapnya.
Akhirnya, setelah ratusan kali melakukan uji resep, Wijaya pun menemukan formula yang pas untuk bebek ungkep. Setelah menemukan resep yang tepat, ia pun memasarkan ke orang terdekatnya dahulu. Memaksimalkan platform Whatsapp dan Facebook ia mulai menjaring para pembeli yang masih satu pertemanan di platform tersebut.
Yuksri Ungkepan pun semakin dikenal masyarakat dan tak sedikit yang meminta Wijaya untuk menyajikan bebek yang sudah dimasak. Keinginan pelanggan itu selalu dilayani dengan baik, saat itu ia membuka order bebek goreng siap saji dan diantarkan pula ke pintu-pintu rumah.
"Aku iklan di media sosial kalau Aku jualan nasi bebek saat itu. Tak kasih styrofoam bungkusnya, jadi ada nasi ada bebek juga sambel tak jual Rp18.000. Alhamdulillah laku waktu saya belum punya karyawan saya nganter terus heran kok laris, kok banyak yang suka, alhamdulillah ya," kisahnya.
Dengan produk bebek siap masak yang dikemas rapi, Wijaya mulai memasarkan produknya secara online, reseller dan ritel. Pandemi membuat orang lebih banyak tinggal di rumah, dan bebek olahan menjadi pilihan menarik. Pesanan pun mulai berdatangan dari berbagai kota seperti Surabaya, Gresik, dan Malang.
Kini produk bebek Yuksri Ungkepan dijual dengan harga Rp90.000 dan ayam kampung seharga Rp80.000.
Menuju Ritel Besar
Kesuksesan di penjualan daring membuat Wijaya memberanikan diri membuka gerai fisik. Ia menyewa tempat di foodcourt pusat Kota Blitar.
“Blitar itu kota kecil. Kalau buka di pinggir kota, enggak bakal kelihatan,” jelasnya.
Keputusan ini terbukti tepat, karena tak lama setelah itu, jenama Yuksri Ungkepan semakin dikenal. Bahkan, ada investor yang tertarik untuk membuka cabang di luar Blitar.
“Kami sekarang punya empat cabang, dan Insya Allah akhir tahun ini buka di Malang, Jogja, dan Kuningan,” katanya optimistis.
Selain itu, ia juga bekerja sama dengan ritel modern seperti Aeon dan Transmart. Kolaborasi ini membuka peluang baru dan memperluas pasar.
“Omzet sekarang sudah sekitar 250 juta per bulan. Alhamdulillah,” ungkapnya.
Bagi Wijaya, perjalanan membangun Yuksri Ungkepan bukanlah jalan mudah. Ia menyadari bahwa kolaborasi dengan berbagai pihak sangat penting bagi perkembangan UMKM.
Wijaya aktif mengikuti dan memenangkan kompetisi bjbpreneur 2024 yang diselenggarakan bank bjb, pangan award 2023 dari Kementarian Perdagangan dan program pembinaan yang diadakan BRIN serta berbagai lembaga lainnya.
Dari situ, ia mendapatkan mentor dan jaringan bisnis baru. “Mentor itu penting. Mereka bisa melihat kelemahan kita dari berbagai sisi yang mungkin enggak kita sadari,” ujarnya.
Namun, Wijaya juga mengakui bahwa tantangan terbesar bagi UMKM adalah akses pendanaan.
“Perizinan halal dan Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM memang bisa gratis. Tapi bangun sarana pendukungnya bisa habis ratusan juta rupiah,” jelasnya lagi.
Ia berharap pemerintah dan lembaga terkait terus mendampingi UMKM dalam membuka akses pasar dan pembiayaan.
Tak henti berinovasi
Salah satu pengalaman menarik bagi Wijaya adalah ketika ia mengikuti kompetisi yang menantangnya untuk membuat produk bebek olahan yang bisa tahan hingga satu tahun tanpa freezer. Berkat bantuan BRIN, ia diperkenalkan dengan teknologi autoclave dan sistem retort.
“Riset seperti itu mahal. Untungnya ada fasilitas dari pemerintah,” ujarnya.
Dengan fokus pada tiga lini bisnis yakni manufaktur bahan baku, produk frozen, dan layanan food service, Wijaya yakin Yuksri Ungkepan bisa terus berkembang. Ia bahkan mulai melirik pasar ekspor dengan menjajaki kerja sama dengan agregator.
"Masa depan ada di inovasi dan jaringan. Kita harus terus belajar dan beradaptasi," katanya penuh semangat.
Bagi Wijaya, menjadi pelaku UMKM sangat tidak mungkin bisa berjalan sendiri.
“Pendampingan itu wajib. Kita butuh dinas, kementerian, dan perbankan untuk membuka akses ke pasar,” tegasnya.
Ia juga mendorong pelaku UMKM lain untuk proaktif mengikuti kompetisi dan mendekatkan diri dengan dinas terkait.
“Kalau bukan karena difasilitasi, kita enggak bakal ketemu orang penting di Aeon atau Transmart,” katanya.
Perjalanan Wijaya dari peternak kecil hingga pemilik jenama premium adalah bukti bahwa ketekunan dan inovasi bisa mengubah nasib. Dari kandang bebek hingga ritel modern, Yuksri Ungkepan menunjukkan kampung dan kota tak ada pembeda ekonomi. Keduanya sama-sama memiliki potensi yang menjanjikan. (Fajar Ramadan/SG-1)