BILA Anda membeli produk tas atau aksesoris dengan jenama Puka, itu artinya Anda telah menghargai karya para difabel. Puka adalah nama singkatan dari jenama Pulas Katumbiri yang memproduksi tas dan aksesoris khas karena paduan warna-warna terang serta lucu.
Tetapi tahukah Anda kalau aneka produk kerajinan tersebut dibuat oleh karyawan teman difabel. Inilah yang menjadi kekhasan Puka, karena memiliki nilai lain yang tidak bisa digantikan produk jenama lain.
Rumah produksi Puka terletak di Jalan Jati No.35, Paledang, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Memasuki tempat tersebut, Anda akan melihat produk hasil karya para difabel yang kadang mereka mendapat perlakuan diskriminasi di tengah masyarakat.
Baca juga: Mondragon Corporation: Kisah Sukses Koperasi Internasional yang Menginspirasi
Perjalanan usaha Puka tidak ujug-ujug hadir dengan memberdayakan kaum difabel semenjak awal pembentukannya. Founder (pendiri) Puka, Dessy Nur Anisa Rahma, 33, memulai usahanya secara self-manufactured.
Awalnya, ia hanya membuat produk untuk kebutuhan pribadi, seperti tas laptop dengan balutan kain goni dan variasi sulam benang wol serta menambah aksesoris pom-pom.
“Jadi tas laptop dibawa ke kampus, ternyata banyak juga yang suka dan muncul demand saat itu,” tutur Dessy kepada Sokoguru, belum lama ini.
Baca juga: Inspirasi dari Cipanjalu: Kisah Plastavfall Kelola Sampah hingga Berdayakan Masyarakat
Melihat peluang itu, ia pun terdorong untuk menyeriusi aktivitasnya untuk membangun jenama, mulai dari logo, identitas jenama, dan desainnya. Pada September - Desember 2015 itu, Dessy mengaku banyak mengkreasi produk selain tas laptop seperti pouch, wadah pensil, dan berbagai produk lainnya. Permintaan dari konsumen pun meningkat, sehingga Dessy mulai kewalahan mengerjakan segalanya seorang diri.
“Wah saya keteteran nih kalau ngerjain sendiri, akhirnya saya cari komunitas, mulai komunitas ibu-ibu, Sekolah Luar Biasa (SLB), dan SMK,” kata perempuan kelahiran Jakarta itu.
Setelah melalui berbagai riset, pilihan Dessy jatuh pada SLB, alasannya terdapat peluang yang baik antara dua belah pihak, terlebih anak SLB sudah terbiasa dengan kegiatan vokasional untuk melatih keterampilan mereka agar mampu berdaya di masyarakat.
Baca juga: Lembah Tumaritis Pasir Impun, Sulap Lahan Sitaan Jadi Pusat Ketahanan Pangan
“Awalnya itu saya mulai di SLB Almasduki di Garut, pengrajin disabilitasnya ada 6 orang terdiri dari hambatan tuli, lalu daksa dan juga down syndrome,” imbuhnya.
Dessy tak menyangka pelibatan mereka ternyata memberikan nilai yang baik terhadap produk Puka. Selain memiliki kesan lucu dan bagus, produk buatan tangan para difabel itu memberikan emotional attachment buat pembelinya. Dengan dasar itu, Dessy memperkenalkan tagline jenama Puka yakni From Disability to Artability.
Seiring berjalannya waktu, Puka mengalami perkembangan yang signifikan. Namun, pada 2019, Puka mengalami stagnasi dalam penjualan tas dan Dessy merasa perlu melakukan diversifikasi produk. Berdasarkan data dari salah satu marketplace favorit ibu-ibu, produk aksesoris memiliki potensi pasar besar. Ia pun memutuskan untuk merambah ke produk aksesoris seperti strap masker, gelang, cincin, dan kalung.
“Waktu itu yang lagi happening banget tuh strap masker,” kata Dessy.
Keputusan tersebut terbukti tepat. Produk aksesoris Puka mendapatkan respon positif dari pasar, yang tidak hanya meningkatkan penjualan tetapi juga memperluas jangkauan Puka. Hingga kini, Puka memiliki sekitar 30 pengrajin difabel yang terbagi menjadi dua kelompok/
Kelompok pertama, 15 orang bekerja secara rutin di creative house Puka di Bandung, sementara 15 orang lainnya bekerja secara mobile dari rumah masing-masing.
“Alhamdulillah sekarang sudah merambah ke daerah Sukabumi, Surabaya, Malang, dan Tasikmalaya,” tambahnya.
Salah satu kunci kesuksesan Puka adalah budaya kerja inklusif yang diterapkan. Di Puka, suasana kerja dibuat senyaman mungkin dengan jadwal kerja yang fleksibel. Puka juga memastikan bahwa tidak ada target produksi yang ketat, sehingga para pengrajin difabel dapat bekerja dengan tenang dan nyaman.
“Suasana kerjanya dibikin happy, tidak ada goals kamu harus bikin sekian produk. Kalau misalnya memang mereka dirasa kurang nyaman atau mood-nya sedang turun sebisa mungkin kita buat mereka cheer up lagi. Atau misalnya mau berhenti dulu, mau ngagoler dulu atau terserah. Jadi di budaya kerjanya lebih inklusif. Jadi kami yang menyesuaikan,” tutur Dessy.
Selain itu, Puka juga berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan komunikasi para pengrajin difabel. Misalnya, untuk berkomunikasi dengan teman tuli, tim Puka belajar bahasa isyarat dan menggunakan metode komunikasi yang adaptif, seperti teks atau bahasa tubuh.
Dalam upaya memasarkan produknya, Puka tidak hanya mengandalkan penjualan online melalui Instagram dan berbagai marketplace, tetapi juga aktif mengikuti berbagai event offline.
Dessy percaya bahwa partisipasi dalam event-event besar dapat membantu memperkenalkan produk Puka kepada masyarakat yang lebih luas.
“Kami suka join event-event yang terkonsep, yang bisa mendatangkan lebih banyak orang untuk melihat produk buatan teman-teman berkebutuhan khusus,” jelas Dessy.
Beberapa event besar yang pernah diikuti Puka antara lain Market Museum, Trademark, dan pameran-pameran yang diadakan oleh komunitas Bangga Lokal BCA dan Briliant Entrepreneur. Puka juga bekerja sama dengan berbagai offline store di Jakarta, Jambi, Kudus, Surabaya, serta di Malaysia dan Singapura untuk memperluas jangkauan pasarnya.
Kolaborasi
Kolaborasi juga menjadi salah satu strategi Puka untuk meningkatkan awareness dan penjualan. Salah satu kolaborasi yang berkesan adalah dengan stafsus presiden bidang sosial, Angkie Yudistia. Berawal dari pertemuan di sebuah event disabilitas di Gedung Sate, kolaborasi ini kemudian berlanjut dengan kunjungan Angkie ke creative house Puka di Bandung.
“Beliau suka dengan produk kami dan akhirnya kami collab untuk membuat tas dengan desain manik-manik yang berbeda,” cerita Dessy.
Dalam menghadapi tantangan dan hambatan selama menjalankan bisnis sosial ini, Dessy selalu berpegang pada keyakinan dan mantra yang menjadi pegangan Puka yaki ‘percaya’.
Bagi Dessy, keyakinan bahwa kebaikan yang dilakukan melalui Puka akan memberikan 1000 kebaikan lainnya menjadi sumber motivasi yang kuat untuk terus bergerak maju. “Percaya ini tuh bakalan oke,” tegasnya.
Rencana ke depan Puka adalah terus mengembangkan produk dan memperluas jangkauan pasar, baik di dalam maupun luar negeri. Dessy juga berencana untuk terus meningkatkan keterampilan para pengrajin difabel melalui berbagai pelatihan dan workshop.
“Kami ingin memberikan lebih banyak lagi kesempatan bagi teman-teman difabel untuk berkarya dan berdaya,” tutup Dessy.
Aktivitas sosial bisnis yang dijalankannya membuat Dessy meraih berbagai penghargaan dari berbagai lembaga dan kompetisi bisnis yang diikutinya. Salah satunya meraih predikat sebagai Sociopreneur bjb preneur 2024 dari bank bjb.
Upaya Dessy Nur Anisa Rahma berbagi ruang dengan teman difabel di Puka membuktikan bahwa bisnis sosial tidak hanya bisa berkembang secara ekonomi, tetapi juga memberikan dampak sosial yang besar bagi masyarakat. (Fajar Ramadan/SG-1)