PAGI itu suasana di Komplek Cengkeh, Desa Paku Haji di Kecamatan Ngamprah, kabupaten Bandung Barat - Jawa Barat diliputi awan mendung. Rista Gynara, 52, pun membuka grendel pintu pagar. Sambil tersenyum ia memberi salam kepada Sokoguru.
Di ruang tamu, kain-kain dengan motif daun dan ranting terlihat dipajang. Di sebelah pintu, satu manekin terasa hidup mengenakan baju pink dengan motif jari-jari daun yang menawan. Sementara, di depannya tergulung kulit dengan aneka bentuk ciptaan alam.
Rista adalah perempuan pembelajar asal Semarang yang kini bermukim di Kabupaten Bandung Barat. Ia menjadi penggerak ekonomi bagi keluarga kecilnya dengan mendirikan jenama Ecoprint Kampung Cengkeh pada 28 Desember 2018. Selain menjadi pebisnis, ia pun sempat menjadi fasilitator disabilitas yang berkaitan dengan ecoprinting.
“Awalnya saya menganggur tapi tertantang lihat anak-anak muda pada kreatif. Dalam hati, saya pun bisa. Saya ikut pelatihan-pelatihan daring, baru ketika ikut pelatihan ecoprint saya merasa ini akan jadi hobi yang menyenangkan,” jelasnya, Jumat (26/4).
Baca juga: Manfaatkan Gap Year dengan Bisnis Manik-Manik, Manda Raup Cuan di Lokapasar
Menurut Rista, jenama Ecoprint Kampung Cengkeh menawarkan produk-produk berupa hasil olah kain dengan teknik ecoprint menggunakan bahan-bahan dari alam, seperti ranting, daun, bunga, kulit kayu, dan bahan lainnya.
Produk pashmina, baju, tas, sepatu, dan aksesoris kecil menjadi hasil akhir dari kreasi Rista yang sempat dipamerkan di ajang Pameran Kerajinan Internasional Handicraft Trade Fair (Inakraf) 2024, di Jakarta Convention Center (JCC), 28 Februari- 3 Maret.
“Di perhelatan tersebut, Ecoprint Kampung Cengkeh diajak oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rista mengatakan awalnya teknik ecoprint masih jadi keahlian yang belum diketahui banyak orang. Namun ia berpikir itulah kesempatan baginya untuk mengembangkan usahanya.
Rista pun percaya bahwa ecoprint bukan sekadar tempel-menempel daun, ecoprint adalah seni. Ada kreativitas yang tak ternilai dan proses yang panjang.
Baca juga: ‘Gudo Jombang’ Manik-Manik Asli Indonesia yang Mendunia
Dibanderol dengan harga dari Rp150.000 - Rp650.000 untuk produk pashmina serta Rp300.000 ke atas untuk produk baju atau produk dengan ornamen-ornamen detail yang kompleks. Dari hasil penjualannya itu, Rista bisa meraup omzet bersih Rp20 juta setiap bulannya.
Dengan pendapatan bersih itu,ia pun mampu memberi upah kepada empat karyawan yang membuat kreasi ecoprint dari daun dan bunga yang mati.
Ikut pameran
Keberhasilan Rista mengasuh jenamanya selama lima tahun lebih tak luput dari strategi bisnisnya dengan mengekspansi pasar-pasar dalam bazar, baik yang diselenggarakan swasta maupun pemerintah.
“Seni ecoprint itu mahal karena emang prosesnya juga panjang. Sekali produksi saja ada banyak proses yang harus dilalui dan memakan waktu hampir seminggu. Jadi, memasarkan olahan kain ecoprint memang konsumen harus melihat langsung produknya,” tuturnya.
Dari usahanya itu, kini Rista pun dikenal sebagai perempuan berprestasi dalam seni ecoprint. Pada 2022, berkat militansinya mengikuti berbagai kompetisi, salah satunya menjadi finalis Apresiasi Kreasi Indonesia (AKI) 2022 yang dihelat Kemenparekraf.
“Jadi untuk mengenalkan produk yang saya buat, saya terus menerus ikut pameran-pameran karena memang potensi pembelinya bagus. Bahkan pas pameran pertama kalinya di Jakarta, saya sama temen-temen sampe patungan biar bisa ikut pameran,” tuturnya.
Baca juga: Usaha Juragan Cangkang Telur Mengubah Sampah jadi Rupiah
Tak hanya itu, Rista mengisahkan, di waktu yang sama ia juga mengikuti on boarding yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Eco-Print Indonesia (AEPI).
“Dari sana saya juga mendapat kenalan dan akhirnya dikenal di mana-mana. Bahkan, sampai sekarang BI selalu minta update catatan keuangan dari usaha saya per enam bulan. Juga saya dikasih alat produksi sama BI,” tambahnya.
Nasib baik bagi jenama yang diasuhnya pun ia dapatkan saat melakukan pameran dan hingga akhirnya memiliki toko sendiri.
“Nah, mengapa saya akhirnya punya toko sendiri. Itupun gara-gara pameran di Mall Festival Citylink Bandung. Saat itu ada manajer dari Dusun Bambu datang ke booth saya menawarkan kerja sama buat mendirikan outlet di sana. Siapa yang gak mau punya outlet ya, lantas tawaran itu saya terima,” ujar ibu dengan dua anak ini.
Belum lama ini, Rista mengaku dibuatkan perusahaan oleh Bank Indonesia (BI) dengan nama PT Gynara Kartika Yuda.
“Tahun ini tuh BI menghubungi saya bahwa produk saya mau didaftarkan SNI ke Badan Sertifikasi Nasional (BSN) jadi aspek legalitas pun didorong untuk dilengkapi. Namun, karena untuk mendapat SNI itu mungkin harus dipertimbangkan juga tempat produksi, sampai sekarang masih belum on progress bahkan belum ada feedback dari BSN,” jelasnya.
Rista mengingat kepada pelaku UMKM lain tentang pentingnya mengikuti program pemerintah dalam mengembangkan bisnis. Sebab, sambungnya, dengan partisipasi itu membuka juga peluang-peluang baru agar bisnis yang saya jalankan bisa berkembang lagi.
Berbagi ilmu
![]() |
Rista merangkai daun-daun pada kain yang akan menjadi media ecoprint. (dok. Fajar Ramadan) |
Sambil menunjukkan selembar kain yang sengaja dibentangkan di atas meja panjang, Rista mengatakan konsumen bisa melihat langsung proses pembuatan kain olahan teknik ecoprint.
Mula-mula ia mengambil plastik sebagai alas serta satu kain kurang lebih selebar satu meter. Lalu dihamparkannya pada meja panjang seraya menjelaskan bahwa yang dipakai kali ini adalah daun jati masih basah dari Sleman, Yogyakarta.
“Kalau pakai daun jati dari Jawa Barat kualitasnya kurang, entah karena faktor suhu atau memang kualitas tanah ya. Jadi saya beli dari Sleman,” ucapnya sambil meletakan daun-daun.
Pada kain yang putih bersih itu ia merangkai daun-daun kering kayu putih dan ranting-ranting kecil membentuk motif tertentu. Setelah itu, ia lipat kain itu agar motif dapat tampil di seluruh sisi dari kain, “Biar hemat dana efektif,” kelakarnya.
Setelah itu, ia mengambil tongkat berukuran 50 Cm lalu menggulung kain itu layaknya proses pembuatan sushi. “Yang menggulung ini harusnya laki-laki agar tekanannya kuat, tapi saya juga bisa,” ujarnya.
Setelah itu, gulungan kain tersebut diikat pada kedua sisinya dan dilakukan proses kukus pada panci berbentuk persegi panjang. “Proses kukusnya kurang lebih 3 jam” imbuhnya.
“Melalui kegiatan ini saya itu ingin membuktikan bahwa perempuan yang sudah tua pun bisa berkreasi. Karena saya adalah perempuan yang suka memproduksi sesuatu yang bisa cuan. Saya juga pembelajar, jadi kita harus bisa maju selaras dengan zaman” ujarnya optimistis.
Riska memang satu dari banyaknya perempuan pengusaha yang populasinya lebih banyak dari pengusaha laki-laki di sektor UMKM. Namun, dengan caranya tak pernah absen mencari kemungkinan pasar dari pameran, membuat bisnisnya kokoh berdiri hingga saat ini. Tak hanya menghidupkan dapur sendiri, tapi dapur karyawannya ikut berasap berkat usaha yang dirintisnya.
Kini, Ecoprint Kampung Cengkeh telah memiliki tiga outlet. Yang terbesar ada di Dusun Bambu, Lembang. Sementara, dua lagi, produknya terdapat di IKEA KBB dan gerai-gerai Uniqlo di Kota Bandung.
“Harapan saya untuk bisnis sekarang, ingin punya galeri untuk karya-karya ecoprint yang saya ciptakan,” imbuhnya.
Bagi Riksa, Ecoprint adalah seni. Di hadapan seni tidak ada pengkotak-kotakan penikmat. Begitupun dalam bisnisnya, konsumen dengan taraf ekonomi rendah pun ingin memiliki karyanya karena suka.
“Pernah ada satu konsumen yang sengaja nabung dan minta barangnya disisakan satu untuknya, ini berarti bahwa olahan kain ecoprint bukan soal nilai, tapi soal penghargaan terhadap daya cipta juga proses yang dilalui,” imbuhnya.
“Dari ecoprint sendiri saya berusaha menjalankan bisnis yang berkelanjutan serta dapat mewarnai wastra nusantara agar manusia dan alam bisa berpadu dengan alam tanpa merusaknya,” pungkasnya.
Ketika ditanya terkait proses produksinya, ia menjelaskan, karyawan hanya dipekerjakan ketika proses produksi tidak bisa dilakukan sendirian. (Fajar Ramadan/SG-1)