SELEPAS sekolah menengah atas, Okta Mahardika Firmanda, 21 asal Dusun Pojok, Desa Plumbon, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang itu memilih berdikari kala harus mengambil jeda dari pendidikan formal (gap year), sebelum ia melanjut ke perguruan tinggi.
Pemikirannya sederhana, yakni membantu orang tuanya yang memiliki bisnis manik-manik di Jombang. Pada 2022 saat pandemi covid-19 menjelang berakhir, ia merasa resah mencari kegiatan positif untuk mengisi waktunya
Baru pada Juni tahun itu, dirinya melihat celah pasar dengan membuat jenama sendiri untuk memasarkan manik-manik orisinil Indonesia yang diproduksi oleh orang tuanya.
Baca juga: Nilai Ekspor Tembus USD547,5 juta, Kinerja Industri Perhiasan Nasional Kian Berkilau
Produk yang dipasarkannya merupakan manik-manik yang dikenal dengan manik Gudo, diambil dari nama kecamatan tempat dia tinggal. Selain menjadi komoditas yang diproduksi secara massal oleh penduduk desa Plumbon, manik Gudo menjadi satu-satunya ikon Kabupaten Jombang.
“Membuat jenama Hello Beads sebenarnya lahir gara-gara ingin bantu usaha orang tua agar pemasarannya lebih luas lagi,” ujar perempuan yang biasa disapa Manda kepada Sokoguru.
Baca juga: Olah Limbah Jadi Perhiasan, Kunci Artistica Jewelry Mendunia
Awal berusaha, Manda tidak semata-mata langsung terjun ke lokapasar (marketplace). Ia mencoba peruntungan dengan membangun jenamanya melalui Instagram. Berbulan-bulan secara rutin membuat postingan tentang produk andalannya, akan tetapi tak kunjung membuahkan pembeli.
“Saya merasa pemasaran lewat Instagram kurang efektif, akhirnya saat itu saya mulai nyoba bikin akun Shopee, dan Tiktok Shop. Perlahan membuahkan hasil,” jelasnya.
Perempuan yang kini menempuh pendidikan Manajemen di STIE PGRI Dewantara itu, menjelaskan bahwa selain membantu orang tua, ia ingin meneruskan juga bisnis manik-manik yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Manda, merupakan generasi kedua yang meneruskan usaha manik ini.
“Untuk manik-manik yang dijual merupakan hasil dari daur ulang kaca-kaca bekas. Di antaranya pecahan piring, botol, dan kaca lampu,” jelasnnya.
Untuk pembuatannya, jelas manda, masih menggunakan teknik tradisional. Di mana limbah kaca itu dipanaskan sampai tahap peleburan, lalu dibuat menjadi batangan menggunakan besi sepanjangan kurang lebih satu meter. Tahapan akhirnya, yakni proses desain dan pembentukan.
Produk-produk yang dipasarkan oleh Hello Beads memiliki harga yang beragam, dibanderol dengan harga terendah Rp 2.500 dan yang tertinggi mencapai Rp 200.000. Omzet yang di dapat pun tak main-main, rata-rata perbulannya Hello Beads menghasilkan sebesar Rp 25 juta melalui penjualan online saja.
Meskipun cukup menjanjikan, sambungnya, usaha manik yang dijalankannya justru sedang melewati masa sulit. Manik Gudo karena hadir sebagai barang daur ulang kaca, maka bahan produksi pun bergantung pada seberapa banyak limbah kaca tersedia.
“Dari pemasok pun kita tidak bisa berharap lebih, kadang limbah kaca ini terbatas sekali,” tuturnya.
Selain itu, ia khawatir kurangnya tenaga yang terampil dalam memproduksi manik di rumah produksi orang tuanya dapat mengancam keberlangsungan bisnis manik ini.
“Harapannya, manik Gudo ini makin dikenal masyarakat Indonesia serta permasalahan produksi dapat selesai dengan upaya-upaya kolaboratif dari akademisi dan pemerintah,” pungkasnya. (Faj/SG-1)