DI tangan Dina Adelya, 28, keranjang bambu tradisional yang dulunya hanya digunakan untuk mencuci beras kini berubah menjadi karya seni modern yang mendunia.
Lewat merek Ayumu Gendout’s, Dina tidak hanya menghidupkan kembali tradisi anyaman bambu dari Jambi, tetapi juga menyulam harapan baru bagi para pengrajinnya.
“Saya ingin kerajinan tradisional ini memiliki nilai lebih. Bukan sekadar barang kebutuhan sehari-hari, tapi sesuatu yang personal dan hidup,” ungkap Dina, seorang seniman rupa yang kini menjadi pelopor inovasi kerajinan bambu.
Baca juga: Konsisten Beli Produk UKM dalam Jumlah Besar, Amennis Trading Raih Primaduta 2024
Langkah Dina berawal dari kegelisahan melihat penurunan permintaan keranjang bambu di desanya.
Banyak pengrajin beralih profesi menjadi petani karet karena anyaman tradisional tak lagi diminati.
Terinspirasi oleh sang ibu, seorang perajin tas purun, Dina mulai bereksperimen untuk memberi nilai baru pada anyaman bambu.
“Ibu saya bilang, purun sudah ibu angkat, sekarang giliran kamu yang mengangkat bambu. Potensinya besar,” kenang Dina.
Dengan sentuhan seni modern, Dina mulai menggambar pola-pola ceria di atas tas bambu, menggabungkan warna cerah ala gaya Harajuku Jepang dengan cerita Nusantara.
Baca juga: Bespoke Project: Dari Gang Sempit di Bandung Menuju Panggung Fesyen Internasional
Ia melukis tradisi Malemang dari Sumatra, flora dan fauna khas seperti Harimau Sumatra, hingga kisah-kisah budaya yang memikat hati.
Dok. nowjakarta.co.id
Perjalanan Berliku Menuju Sukses
Awal perjalanan Ayumu Gendout’s tidaklah mulus. Ketika pertama kali memasarkan tas lukisnya di Jambi pada 2020, respons masyarakat kurang menggembirakan.
“Di daerah saya, orang lebih suka tas yang biasa, dengan warna kalem. Tas saya dianggap terlalu berani,” katanya.
Namun, Dina tidak menyerah. Ia membawa produknya ke Jakarta dan mencoba peruntungan di pameran INACRAFT 2022. Hasilnya mengejutkan—seluruh koleksi tasnya ludes hanya dalam dua hari.
Sejak saat itu, Ayumu Gendout’s menjadi langganan pameran kerajinan di dalam dan luar negeri.
“Saya percaya, produk saya hanya belum menemukan pasarnya,” ujar Dina penuh keyakinan.
Kini, tas-tas Ayumu Gendout’s menarik perhatian pembeli internasional, dengan pesanan dari Milan dan New York. Di dalam negeri, produk ini dipajang di galeri seni seperti Hadi Prana Kemang, Jakarta.
Hidupkan Tradisi, Berdayakan Pengrajin
Dina bekerja sama dengan pengrajin bambu di Desa Rantau Panjang, Jambi, untuk menghasilkan desain tas yang modern tanpa meninggalkan akar tradisi.
Baca juga: Kuliner Tradisional Indonesia yang Sukses Rambah Pasar Mancanegara
Para pengrajin diajari teknik baru, seperti membuat tas berbentuk persegi panjang dengan ritsleting dan pegangan.
Proses pembuatan tas melibatkan pengeringan bambu di kiln untuk menghilangkan kelembaban, sebelum dilukis satu per satu dengan cat akrilik.
Setiap desain unik dan membutuhkan waktu hingga tiga hari pengerjaan.
“Yang dulunya mereka hanya membuat keranjang untuk dapur, sekarang hasil karya mereka bisa dibawa ke luar negeri,” ujar Dina dengan bangga.
Harga tas Ayumu Gendouts berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1.500.000.
Produk ini menjadi simbol perpaduan tradisi dan modernitas, menarik perhatian generasi muda hingga kolektor internasional.
Membangun Jembatan Budaya
Dina meyakini kerajinan tradisional tidak harus identik dengan kuno. Dengan inovasi, tradisi dapat menjadi bagian dari gaya hidup modern tanpa kehilangan identitasnya.
Namun, ia juga belajar mendengar kebutuhan pasar agar produknya tetap relevan.
“Awalnya saya sangat idealis, membuat produk sesuai keinginan saya. Tapi setelah bertemu banyak pembeli, saya belajar menyesuaikan tanpa kehilangan ciri khas,” ungkap Dina.
Lewat Ayumu Gendouts, Dina tidak hanya membawa tradisi Jambi ke panggung dunia, tetapi juga memberdayakan pengrajin di desanya.
“Setiap karya harus memberikan dampak baik,” tutup Dina singkat.
Melalui tas-tasnya, Dina tidak hanya menghidupkan kembali tradisi lama, tetapi juga memberikan kehidupan baru bagi pengrajin di desanya.
Di setiap anyaman bambu, tersimpan kisah harapan, perjuangan, dan cinta terhadap tanah air. (Fajar Ramadan/SG-2)