KASUS perundungan yang menimpa almarhumah dr. Aulia Risma menjadi sorotan tajam bagi sistem pendidikan residensi dokter spesialis di Indonesia.
Tragedi ini dianggap sebagai tamparan keras, terutama karena terjadi di lingkungan profesi yang seharusnya dihormati, yaitu dokter.
Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, menegaskan pentingnya reformasi dalam program pendidikan dokter spesialis (PPDS), dengan penekanan khusus pada kesehatan mental bagi semua pihak yang terlibat, termasuk para senior dan pengajar.
Baca juga: Kasus Aulia Risma, Alarm Keras Bagi Dunia Kedokteran Indonesia
Menurut Arzeti, fokus pendidikan tidak bisa hanya pada kemampuan akademis semata.
“Isu kesehatan mental ini tidak bisa lagi dianggap sekadar wacana. Buktinya jelas dan nyata," jelasnya.
"Dengan memperhatikan kesehatan mental, kita berharap tidak ada lagi senior yang melakukan perundungan terhadap juniornya. Dan mereka yang menjadi korban bisa mendapatkan pendampingan yang layak,” ujar Arzeti.
Arzeti juga menyoroti dampak serius perundungan terhadap korban dan keluarganya. Ayah dr. Aulia, misalnya, meninggal dunia tak lama setelah kehilangan putrinya, yang diduga karena kesehatan mentalnya menurun akibat kesedihan mendalam.
“Membayangkan seorang ayah yang harus merasakan kepedihan karena kehilangan anaknya, ditambah dengan mengetahui bahwa anaknya diperlakukan tidak baik hingga kesehatannya menurun, sungguh menyayat hati,” paparnya.
Baca juga: UU Kesehatan Siap Atur Kebutuhan Dokter Spesialis yang Langka di Daerah
“Sistem yang salah di PPDS telah menyebabkan duka mendalam di tengah masyarakat,” ungkap Arzeti yang juga seorang ibu dari tiga anak sebagaimana dilansir situs DPR RI, Senin (2/9)..
Saat ini, kasus kematian dr. Aulia Risma masih dalam penyelidikan oleh Polda Jawa Tengah. Polda dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus berkoordinasi untuk mengungkap perundungan yang dialami oleh peserta PPDS Anestesi tersebut.
Arzeti menekankan bahwa perundungan bisa memiliki dampak jangka panjang bagi korban, sehingga pendampingan khusus sangat diperlukan untuk membantu mereka pulih lebih cepat.
“Perundungan ini sangat berbahaya karena bisa berdampak jangka panjang, bahkan menyebabkan trauma yang mendalam,” terang Arzeti.
“Budaya ini harus diberantas, dan pendampingan khusus bagi korban sangat penting agar mereka bisa pulih dengan lebih cepat,” ujarnya.
Baca juga: Buntut Kritik Impor Dokter Asing, Pemberhentian Dekan FK Unair Sulut Kontroversi
Kemenkes sendiri telah mengakui bahwa kasus perundungan di lingkungan PPDS masih marak terjadi.
Hingga Agustus 2024, tercatat ada 234 laporan perundungan di PPDS, dengan program studi Penyakit Dalam menjadi yang paling banyak dilaporkan.
Selain itu, survei menunjukkan ada 399 dokter yang mengalami depresi berat, bahkan beberapa berniat mengakhiri hidup.
Dokter. Aulia sendiri diketahui menjadi salah satu peserta PPDS yang terlibat dalam penelitian tersebut, dan hasilnya menunjukkan bahwa ia mengalami depresi akibat perundungan dari seniornya.
“Data-data ini sudah jelas. Tidak perlu ada lagi pihak-pihak yang membela diri atau mencoba menutup-nutupi budaya perundungan di lingkungan PPDS. Sekarang adalah saatnya untuk berbenah, karena mata rantai perundungan harus diputus,” tegas Arzeti.
Ia juga mendesak Kemenkes untuk memberikan sanksi tegas bagi lembaga pendidikan yang terlibat dalam program PPDS jika terbukti ada praktik perundungan.
Arzeti menilai bahwa praktik perundungan berkembang karena ada pembiaran dari lingkungan.
“Praktik perundungan di PPDS berkembang karena lingkungannya seakan mengizinkan itu terjadi. Ini sudah seperti lingkaran setan, dan tidak lagi memandang usia, padahal dokter spesialis seharusnya sudah bukan orang muda lagi,” pungkasnya.
Kemenkes mengungkapkan ada 10 program studi dengan kasus perundungan terbanyak di PPDS, dengan Penyakit Dalam berada di puncak dengan 44 kasus, diikuti oleh Bedah (33 kasus), Anestesiologi (22 kasus), dan berbagai program studi lainnya.
“Ini baru yang dilaporkan, dan saya yakin masih banyak yang belum melapor. Ini yang harus diusut lebih dalam,” jelas Arzeti.
“Kami berharap masalah perundungan di lingkungan PPDS yang sudah sangat mengkhawatirkan ini bisa segera dihapuskan. Kami akan terus berkoordinasi dengan Kemenkes,” tutup politikus Fraksi PKB tersebut.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya perhatian serius terhadap kesehatan mental dalam pendidikan dokter spesialis, dan menjadi momentum bagi reformasi yang lebih menyeluruh dalam sistem tersebut. (SG-2)