HARUM kayu manis menguar di Jalan Pasar Barat, Kebon Jeruk, Kota Bandung. Sumber wewangian itu berasal dari sebuah bangunan bercat kuning yang telah berdiri ratusan tahun. Tempat itu, ialah toko jamu Babah Kuya yang sudah melegenda.
Saat memasuki toko yang sudah berdiri sejak 1838 itu, mata akan tertuju pada lima kuya (kura-kura) menempel di dinding ruangan toko yang di bawahnya terdapat bakul-bakul berisi herbal sebagai bahan baku membuat jamu.
Suasana toko Babah Kuya memang dipertahankan seotentik mungkin, sama ketika awal didirikan. Kuya tersebut sebagai simbol telah berapa generasi usaha ini dijalankan. Tak hanya itu, kuya pun punya arti sebagai perjalanan yang penuh kesabaran.
Baca juga: Seminar Jamu: Mengangkat Warisan Budaya Nusantara ke Ranah Global
Hampir dua abad yang lalu, seorang bernama Tan Sio Hau menyediakan obat bahan alam dalam bentuk jamu racikan herbal yang kala itu dikenal manjur mengobati berbagai penyakit.
Seiring berjalannya waktu, Babah Kuya tetap bertahan dan sudah lima generasi yang menjalankan usaha jamu tersebut. Generasi pertama yakni Tan Sio Hau, kemudian Tan Seng Hap, Tan Sung Ek, Tan Un Yang, dan generasi kelima Tan Ham Yang alias Hendra Tanuwirja. Nama besar Babah Kuya masih terus dipertahankan.
“Nama Babah Kuya itu panggilan dari masyarakat sekitar pada Tan Sio Hau,” tutur generasi kelima Tan Ham Yang alias Hendra Tanuwirja kepada Sokoguru, Jumat (7/6).
Baca juga: Pemasaran Digital dan Branding Efektif Bisa Dongkrak Produk Jamu UMKM
Dalam catatan sejarah, Institut Farmakologi pertama kali didirikan pada tahun 1847 oleh Rudolf Bucheim (1820-1879) di Universitas Dorpat, Estonia. Maka, tak mengherankan bila Babah Kuya begitu dipercaya sebagai penyedia obat herbal.
Sang kuya ke-5
Layaknya seorang tabib, Hendra Tanuwirja menjelaskan obat ramuan apa yang cocok untuk penyakit jantung yang diderita oleh salah satu pelanggan baru, Yanto.
Sambil membawa gelas berukuran 600 ml, Hendra memperagakan cara menyajikan jamu racikannya. Apapun penyakitnya, kuncinya adalah kurangi konsumsi gula dan hidup sehat. Bagi Hendra, gula jadi biang kerok bermacam penyakit.
Baca juga: Peringati Hari Jamu Nasional, BPOM Dorong UMKM Jamu Naik Kelas dan Ekspansi Global
“Resep jamu campuran bahan alam di sini diwariskan dari generasi ke generasi. Saya juga harus tetap inovasi, memperbaiki resep-resep lama hingga akhirnya banyak macam obatnya,” ujarnya.
Setiap penyakit obatnya ada di Babah Kuya dan bagi masyarakat yang ingin berkonsultasi tidak dipungut biaya. Hendra menegaskan bahwa sembuh itu tergantung kedisiplinan orang untuk taat menghindari makanan atau minuman pantangan.
Jamu Babah Kuya sebagian besar dipasarkan di tokonya, meski beberapa dilayani secara online untuk menjangkau pasar nasional. Tak hanya itu, jamu Babah Kuya pun pernah dibeli orang asing, salah satunya Korea.
Babah Kuya tetap relevan dan terus menarik minat banyak orang. Selain masyarakat lokal, toko ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin merasakan pengobatan tradisional asli Indonesia. Harga jamu di sini cukup terjangkau, mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 200.000 per ons, tergantung pada jenisnya.
Jamu yang disediakan banyak diperuntukan sebagai obat-obatan, di antaranya obat lambung, masalah kewanitaan, diabetes, jantung, asam urat dan penyakit lainnya.
Tak hanya itu, adapun jamu yang diperuntukan untuk menjaga stamina agar tetap fit menjalani hari-hari serta menjaga kesehatan. Bagi siapapun yang membeli, jangan khawatir Babah Kuya menggunakan 100% bahan-bahan alami entah bentuknya rempah atau tanaman herbal.
“Buat bahan jamu bahan alami semua, kita ambil dari petani-petani di Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan lain-lain. Ada juga yang memang kita impor langsung karena tidak ada barangnya di sini,” jelas pria yang bermarga Tan itu.
Meskipun melegenda, bukan berarti Babah Kuya tidak diterpa berbagai tantangan. Di meja kasir tempat Hendra melayani konsumen, banyak stiker yang bertuliskan bahwa Babah Kuya tidak memiliki reseller atau pun dijual di toko-toko lain.
“Tantangannya ya itu, banyak yang pake nama Babah Kuya, ngaku-ngaku dari sini padahal bukan. Saya tidak ingin konsumen tertipu, jadi saya umumkan kalau obat babah kuya hanya di jual di sini saja,” imbuhnya.
Warisan budaya tak benda
Lebih lanjut, Hendra, menjelaskan bahwa Babah Kuya sebagai usaha yang hampir berdiri dua abad sering dikunjungi oleh mahasiswa atau peneliti dari berbagai lembaga. Namun, pertemuan saat itu cukup lain.
“Babah Kuya diajukan sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBtB), semoga masuk,” imbuhnya.
Perjalanan panjang Babah Kuya bukan karena khasiat yang manjur semata. Ketika Anda mulai menginjakkan kaki di ubin pertama toko tersebut muncul rasa yang mengajak kita mengingat kembali masa lalu.
Meskipun ada opsi lain dalam hal pemasaran, yakni mengekspansi pasar di marketplace melalui digitalisasi bisnis, Hendra ingin mempertahankan nilai heritage Babah Kuya sebagai bisnis yang melintasi generasi ke generasi.
“Saya juga buka pemesanan lewat WA Business, apalagi waktu pandemi, semua pelanggan pesan lewat WA. Cuman ya, saya ingin orang-orang datang ke sini,” jelasnya.
Harum rupa herbalnya sulit dilupakan, rata-rata orang-orang yang datang adalah mereka yang telah merasakan hal lebih baik. Namun, yang paling berkesan adalah bagaimana memerhatikan Hendra memberikan saran kepada pelanggan yang punya masalah dengan kesehatan mereka.
Bukan hanya itu, di Babah Kuya bahan-bahan jamu yang belum diolah ditata rapi pada bakul-bakul besar. Di sana tertulis, daun afrika, binahong, daun kersen, dan sambung nyawa.
Memang, masuk ke dalam toko Babah Kuya tak hanya membuat kita masuk ke zaman lain. Mengambil jeda dari berbagai kesibukan. Tak hanya teredukasi tentang apa saja yang jadi tanaman obat, tetapi juga kita menyaksikan bagaimana sebuah bisnis bisa berjalan berabad-abad lamanya.
Saat ditanya harapannya ke depan bagi Babah Kuya, cita-cita Hendra tak muluk-muluk. Ia hanya ingin usaha Babah Kuya terus hidup.
“Saya berharap usaha ini umurnya panjang, terus turun-temurun di setiap generasi, jadi usaha yang abadi,” pungkasnya. (Fajar Ramadan/SG-1)