Humaniora

Program Makan Siang dan Susu Gratis, Guru Besar UGM: Tantangan Ketergantungan Impor

Untuk memenuhi kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,38 juta ton per tahun, Indonesia masih bergantung pada impor. 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
16 Oktober 2024
Untuk memenuhi kebutuhan susu dalam menjalankan program minum susu gratis, pemerintah Indonesia harus impor susu salah satunya dari Australia. (Ist/Freepik)

PROGRAM makan siang dan minum susu gratis menjadi salah satu kebijakan unggulan kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

 

Melalui program ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan asupan gizi anak-anak Indonesia dan sekaligus menekan angka stunting yang masih menjadi permasalahan serius.

 

Namun, di balik ambisi besar tersebut, tantangan besar muncul. 

 

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia yang hanya 16,3 kg/kapita/tahun (BPS, 2020) jauh tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia yang mencapai 65 kg/kapita/tahun.

 

Baca juga: DPR Sebut Anggaran Program 'Makan Siang Gratis' Hanya Rp71 Triliun

 

Untuk memenuhi kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,38 juta ton per tahun, Indonesia masih bergantung pada impor. 

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mampu menyumbang 22% dari total kebutuhan nasional, sementara 78% sisanya berasal dari impor.

 

Terkait rencana pemerintah untuk melakukan impor susu dalam jumlah besar, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Widodo Hadisaputro, menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil langkah tersebut. 


Menurut Widodo, ketergantungan impor berisiko memicu pihak-pihak tertentu memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi.

 

Kurangi Ketergantungan Impor Susu

 

“Pemerintah harus mengurangi ketergantungan pada impor susu dengan membatasi impor dan sekaligus mengembangkan sektor peternakan sapi perah di dalam negeri,” tegas Widodo sebagaimana dilansir situs UGM, Rabu (16/10).

 

Baca juga: Terpilih Program Makan Bergizi Gratis, Pemkot Bandung Siap Bagikan 2.500 Porsi Per Hari

 

Widodo menekankan pentingnya meningkatkan populasi sapi perah lokal dan produktivitasnya. 

 

Hal ini dapat dicapai melalui manajemen budidaya yang baik, pemilihan bibit sapi yang sesuai dengan iklim tropis, serta dukungan teknologi dan sumber daya lahan yang memadai.

 

Rencana pemerintah untuk mengimpor sapi perah dari negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Brasil, dan Eropa guna mencapai target populasi 2,3 juta ekor sapi perah dewasa pada 2029 bukan tanpa tantangan. 

 

Widodo mengingatkan bahwa impor dalam jumlah besar memerlukan langkah teknis yang sangat detail, termasuk mematuhi peraturan negara asal dan protokol impor di Indonesia.

 

"Perlu diwaspadai agar ternak yang diimpor tidak membawa penyakit yang bisa menyebar ke ternak lokal, seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)," katanya.

 

Widodo juga menggarisbawahi pentingnya dukungan bagi peternakan rakyat dan koperasi untuk memastikan program ini tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi juga mendorong kesejahteraan peternak kecil. 

 

Baca juga: DPR Kritisi Rencana Impor Sapi Perah untuk Program Makan Bergizi Gratis

 

Melalui skema kerja sama antara korporasi dan peternak rakyat, diharapkan lapangan kerja dapat tercipta, pendapatan meningkat, dan kemandirian susu nasional terwujud.

 

Selain itu, pengembangan teknologi seperti "Smart Dairy Farming" juga disarankan agar produktivitas sapi dapat ditingkatkan dengan manajemen lingkungan yang lebih baik. 

 

Inovasi ini diyakini akan membawa dampak signifikan bagi peningkatan kualitas produksi susu dalam negeri.

 

Widodo berharap, melalui langkah-langkah strategis ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor dan mendorong transformasi sektor peternakan nasional yang tangguh serta berkelanjutan.(SG-2)