Humaniora

Pemecatan 100 Guru Honorer di Jakarta Dikritik, Dede Yusuf: Tidak Humanis

Pemecatan sepihak yang dilakukan melalui sistem 'cleansing' atau 'pembersihan' ini dianggap tidak humanis dan memicu kontroversi.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
21 Juli 2024
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, (Ist/DPR RI) 

KEBIJAKAN pemecatan lebih dari 100 guru honorer di DKI Jakarta menuai kritik keras dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi. 

 

Pemecatan sepihak yang dilakukan melalui sistem 'cleansing' atau 'pembersihan' ini dianggap tidak humanis dan memicu kontroversi.

 

Kritik Terhadap Kebijakan 'Cleansing'

 

Dede Yusuf menilai istilah 'cleansing' yang digunakan dalam kebijakan tersebut terlalu sadis dan tidak pantas diterapkan pada guru-guru honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun. 

 

Baca jugaPengangkatan Ribuan Guru PPPK Masih Menggantung Tanpa Kepastian

 

"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh!" ujar Dede Yusuf dalam keterangan tertulis yang diterima situs resmi DPR RI, Jumat (19/7).

 

Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

Temuan BPK menunjukkan bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor. 

 

Baca juga: DPR Pertanyakan Penurunan 16% Anggaran Kemendikbudristek 2025

 

Para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan pengangkatan mereka oleh pihak sekolah dilakukan tanpa rekomendasi dari Disdik, yang dianggap melanggar aturan.

 

Ketidakcocokan Jam Mengajar

 

Dede Yusuf juga menyoroti perbedaan aturan antara Disdik DKI Jakarta dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengenai jam mengajar. 

 

Disdik DKI mengharuskan guru mengajar sebanyak 35 jam per minggu, sementara Kemendikbudristek hanya mengharuskan 24 jam per minggu. Perbedaan ini menjadi salah satu temuan BPK.

 

"BPK melihat pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar," jelas Dede.

 

Dampak pada Proses Belajar Mengajar

 

Dede Yusuf mengingatkan bahwa kebijakan 'cleansing' guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah dan mengganggu proses belajar mengajar. 

 

Baca juga: Permendikbud No 2 Tahun 2024 Picu Komersialisasi Perguruan Tinggi

 

Hal ini pada akhirnya akan merugikan anak-anak yang baru memasuki tahun ajaran baru. 

 

Ia juga menekankan pentingnya mencari tahu alasan sekolah-sekolah mengangkat guru honorer tersebut, yang mungkin disebabkan oleh beban kerja yang terlalu besar sehingga membutuhkan tambahan guru.

 

Penghargaan terhadap Guru

 

Dede Yusuf menekankan pentingnya pemberdayaan profesi guru yang berkeadilan dan berkelanjutan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sesuai amanat Pasal 7 Ayat 2 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

 

Ia juga mengkritik pemecatan dengan istilah 'cleansing' yang tidak sesuai dengan semangat negara dalam memperbaiki nasib guru honorer.

 

Dede mengingatkan bahwa UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN telah menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024. 

 

Pemerintah telah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer dengan beberapa kebijakan, termasuk pengangkatan honorer menjadi PNS atau PPPK, dengan target pengangkatan sebanyak 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK pada tahun 2024.


 

Dede menegaskan pentingnya kebijakan yang lebih bijaksana dari Pemda terkait nasib lebih dari 100 guru honorer yang telah berjasa dalam pendidikan anak-anak.

 

"Kita berbicara tentang nasib lebih dari 100-an guru yang sudah berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita. Semestinya Pemda lebih bijaksana, tidak asal main cut seperti itu," tutup Dede. (SG-2)