INDONESIA kembali diguncang kasus kebocoran data besar-besaran. Kali ini, peretasan terhadap data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menggemparkan publik.
Dengan 6 juta data NPWP yang bocor dan dijual di forum hacker, kasus ini menunjukkan betapa rentannya keamanan siber di Indonesia.
Data pribadi milik sejumlah tokoh penting, termasuk Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani, turut menjadi korban peretasan.
Baca juga: DPR Desak BSSN Perkuat Perlindungan Data dari Ancaman Siber
Kebocoran data ini menuai reaksi keras dari DPR. Anggota Komisi I DPR Sukamta menyuarakan bahwa insiden ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah.
Ia mendesak agar keamanan siber di Indonesia diperkuat, mengingat ini bukan kali pertama kebocoran data terjadi.
“Ini sudah terjadi yang kesekian kalinya, dan harus menjadi alarm keras untuk pemerintah agar segera meningkatkan keamanan siber sehingga data setiap warga negara terlindungi,” tegas Sukamta sebagaimana dilansir situs DPR RI, baru-baru ini.
Ancaman Serius bagi Keamanan Nasional
Sukamta menekankan bahwa kebocoran ini bukan hanya ancaman bagi privasi individu, tetapi juga bagi keamanan nasional.
Jika data sensitif milik presiden dan pejabat tinggi bisa bocor dengan mudah, bagaimana nasib data pribadi jutaan warga lainnya?
Kejadian ini menunjukkan kelemahan serius dalam sistem keamanan siber Indonesia.
Baca juga: Peretasan Pusat Data Nasional Dinilai Tragis, Miris, dan Ironis
“Perlindungan data harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sebagai reaksi terhadap insiden, tetapi sebagai kebijakan jangka panjang yang sistematis,” lanjut Sukamta.
Ia menegaskan, evaluasi dan investigasi mendalam harus dilakukan secepatnya untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pengelolaan data pemerintah. Hanya dengan langkah konkret, kebocoran data bisa diatasi secara serius.
Indonesia Masuk Daftar Negara dengan Kebocoran Data Terbesar
Tidak hanya kebocoran kali ini, Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara dengan tingkat kebocoran data yang tinggi.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan bahwa sejak 2019 hingga Mei 2024, tercatat ada 111 kasus kebocoran data.
Menurut perusahaan VPN asal Belanda, Surfshark, Indonesia bahkan masuk ke dalam 10 besar negara dengan kebocoran data terbanyak di dunia antara 2020 dan 2024.
Kasus-kasus sebelumnya, seperti peretasan terhadap data Kemenkominfo, Polri, hingga Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, menunjukkan bahwa kelemahan siber di Indonesia tidak terbatas pada satu sektor saja.
Data aparatur sipil negara (ASN) pun pernah dibocorkan dan dijual dengan harga fantastis di forum peretasan.
Baca juga: Pusat Data Nasional Diretas, DPR RI Sebut Kecelakaan atau Kebodohan Nasional
Melihat tren ini, wajar jika kekhawatiran semakin memuncak. Sistem siber di Indonesia tampaknya belum siap menghadapi ancaman dari para peretas.
Terlebih lagi, penegakan hukum terkait kebocoran data masih belum menunjukkan hasil yang memadai.
Desak Pembentukan Lembaga Perlindungan Data Pribadi
Salah satu solusi yang diusulkan oleh Sukamta adalah pembentukan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) sesuai dengan amanat UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Ia berulang kali menyuarakan pentingnya lembaga ini untuk memastikan bahwa perlindungan data di Indonesia dilakukan secara terstruktur dan komprehensif.
Namun, hingga kini, pemerintah belum menunjukkan langkah konkret dalam pembentukan lembaga tersebut. Jika dibiarkan berlarut-larut, risiko kebocoran data di masa depan akan semakin besar.
"Banyaknya kasus kebocoran data yang penegakan hukumnya pun jarang ada kejelasan menunjukkan Indonesia sudah sangat membutuhkan lembaga perlindungan data,” tegas Sukamta.
Meningkatkan Kompetensi Tenaga IT
Di samping itu, Sukamta juga menyoroti pentingnya merekrut tenaga IT yang benar-benar kompeten. Sistem keamanan siber yang lemah sering kali disebabkan oleh kurangnya tenaga ahli di bidang tersebut.
Ia menegaskan bahwa tenaga IT yang dibutuhkan tidak boleh sekadar formalitas, tetapi harus benar-benar menguasai teknologi terbaru dan mampu mendeteksi serta mengatasi ancaman siber secara efektif.
“Kita harus bisa mengikuti perkembangan teknologi agar sistem kita tidak mudah diretas. Salah satunya dengan merekrut tenaga IT yang berkompeten,” kata Sukamta.
Kerja sama erat dengan para pakar keamanan siber juga diperlukan untuk memperkuat sistem yang ada.
Tuntutan Investigasi Menyeluruh
Komisi I DPR mendesak agar pemerintah melakukan investigasi secara menyeluruh terkait kebocoran data ini.
Penjelasan yang jelas dan transparan dari pemerintah diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, yang kian menurun akibat serentetan kebocoran data.
Jika penanganan terus diabaikan, tak hanya privasi individu yang terancam, tetapi juga keamanan dan stabilitas nasional.
Kebocoran data bukan lagi isu yang bisa diabaikan. Kejadian demi kejadian ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah sangat tertinggal dalam hal keamanan siber.
Sekarang adalah saatnya bagi pemerintah untuk bertindak tegas, bukan hanya bereaksi sementara.
Masyarakat membutuhkan jaminan bahwa data mereka aman, dan pemerintah harus mengambil tanggung jawab penuh atas hal ini. (SG-2)