WAKIL Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, mengungkapkan bahwa sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi gagal mengatasi masalah pendidikan di Indonesia.
Menurut Dede, ketidakcocokan antara jumlah sekolah dan jumlah siswa adalah salah satu faktor utama penyebab kegagalan tersebut.
"Jumlah siswa tidak sebanding dengan daya tampung sekolah. Misalnya, jika ada 5 juta siswa SD, hanya 3 juta yang bisa ditampung di SMP. Maka, ada 2 juta siswa yang tidak mendapatkan sekolah," jelas Dede.
Baca juga: Dede Yusuf Minta Nadiem Makarim agar Mahasiswa PTN Boleh Cicil Biaya Kuliah
Pernyataan Dede disampaikan saat menjadi narasumber acara Dialektika Demokrasi di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/7).
Ketidakcocokan ini juga terlihat pada transisi dari SMP ke SMA, di mana jumlah sekolah tidak mencukupi kebutuhan siswa.
Hal ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam menyediakan akses yang merata bagi semua siswa.
Lebih lanjut, Dede menyoroti keberadaan sekolah favorit sebagai cerminan ketidakmampuan pemerintah, baik Kemendikbudristek maupun pemerintah daerah, dalam menyediakan kualitas pendidikan yang merata.
"Sekolah favorit dikenal karena sarana-prasarana yang baik, akses ke guru berkualitas, dan ruang belajar yang memadai," papar Dede sebagaimana dikutip situs DPR RI, Jumat (5/7).
Baca juga: Dede Yusuf Soroti Lonjakan Kenaikan UKT di Beberapa Perguruan Tinggi Negeri
Menurut Dede, penerimaan siswa di sekolah favorit berdasarkan nilai masih dianggap tidak adil.
Oleh karena itu, diperlukan formula baru untuk sistem penerimaan siswa yang lebih efektif dan adil.
"Banyak orang tua dan siswa masih mengejar sekolah favorit meskipun sudah ada sistem zonasi. Ini menunjukkan bahwa zonasi belum berhasil menyamakan kualitas antara sekolah-sekolah," tambahnya.
Baca juga: Picu Kenaikan Biaya Kuliah di PTN, Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 Harus Ditinjau Ulang
PPDB dengan konsep zonasi telah diterapkan selama delapan tahun terakhir dan dianggap oleh banyak pihak sebagai konsep yang gagal.
Permasalahan ini menjadi topik utama dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema 'Mencari Solusi Menuju PPDB yang Transparan dan Efektif.'
Diskusi ini juga dihadiri oleh pengamat pendidikan Asep Sapaat, praktisi media Friederich Batari, dan Asep Subagyo.
Dalam diskusi tersebut, Dede Yusuf menekankan perlunya peningkatan kualitas pendidikan di semua sekolah agar tidak ada lagi perbedaan antara sekolah favorit dan non-favorit.
"Dengan sistem PPDB dan zonasi, harapannya semua sekolah dapat di-upgrade sehingga kualitasnya setara dengan sekolah favorit dan menjadi tujuan siswa-siswa," jelas Dede.
Kritik dan masukan dari berbagai pihak ini menunjukkan urgensi untuk merevisi sistem PPDB agar lebih transparan, efektif, dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan yang merata bagi seluruh siswa di Indonesia. (SG-2)