INDONESIA baru saja mengikuti rangkaian pertemuan Finance and Administration Committee (FAC18) dan Commission Meeting Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC21) di Suva, Fiji, pada 27 November - 3 Desember 2024.
Dalam pertemuan tersebut usulan Pemerintah Indonesia tentang standar tenaga kerja perikanan atau Conservation and Management Measure (CMM) on Crew Labour Standards pada pertemuan tahunan tuna dunia WCPFC21 akhirnya disepakati.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Lotharia Latif dalam keterangan resmi KKP di Jakarta, (4/12).
Baca juga: Tingkatkan Ekonomi Nelayan, KKP Uji Coba Budi Daya Tuna di Keramba Jaring Apung
Perjuangan tersebut, sambungnya, telah Indonesia bawa sejak sidang WCPFC17 pada 2020 yang didukung sebagian besar negara anggota WCPFC. Hingga akhirnya dibentuk Intersessional Working Group yang di ketuai bersama (co-chair) oleh Indonesia dan Selandia Baru sebagai perwakilan dari Fisheries Forum Agency (FFA) atau Forum negara di kawasan Pasifik.
“Upaya yang dibawa Indonesia pada pertemuan internasional itu lantaran banyaknya kasus tenaga kerja pada kapal perikanan berkewarganegaraan Indonesia yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia saat bekerja di kapal asing,” kata Latif.
Penyelewengan tersebut, imbuhnya, diantaranya mulai dari kasus gaji tidak dibayarkan, terlantar, perlakuan tidak baik di atas kapal, hingga pelarungan. Hal itu menjadi perhatian pemerintah RI dan dibawa ke ranah internasional.
Baca juga: Tingkatkan Ekonomi Nelayan, KKP Uji Coba Budi Daya Tuna di Keramba Jaring Apung
Menurut Latif perjuangan Indonesia itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pembahasan proposal usulan Indonesia pada Intersessional Working Group WCPFC berlangsung selama empat tahun dan akhirnya bisa mengakomodir pandangan dan kompromi dari semua negara anggota.
“Diadopsinya CMM tersebut disambut gembira oleh negara anggota WCPFC dan juga observer karena WCPFC menjadi Regional Fisheries Management Organization (RFMO) pertama yang menyepakati dan mengadopsi CMM Crew Labour Standard,” terangnya.
CMM akan berlaku mulai 1 Januari 2028 untuk memberikan waktu pada negara anggota WCPFC mengadopsi aturan ke dalam aturan nasional. Implementasi CMM tersebut mengatur kewajiban yang harus dijalankan oleh negara bendera anggota WCPFC.
Baca juga: Bertemu Tim US FDA, KKP Pastikan Produk Perikanan RI Penuhi Standar Mutu Ekspor AS
Hal-hal yang wajib diterapkan diantaranya terkait dengan kondisi pekerjaan dan remunerasi yang layak, kontrak yang transparan dan adil bagi pihak yang terlibat, penanganan untuk kru yang mengalami cedera serius, jatuh dari kapal, maupun meninggal di atas kapal perikanan.
Lebih lanjut ketentuan ini juga mengatur prosedur dan jalur komunikasi untuk kemudahan kontak dan koordinasi dengan crew provider dan keluarga terdekat.
CMM tersebut menunjukkan komitmen yang besar dari negara anggota WCPFC untuk tidak hanya memperhatikan keberlanjutan sumber daya ikan tetapi memperhatikan standar keselamatan dan keamanan bagi para awak kapal.
Dalam pertemuan internasional itu, Delegasi Indonesia diketuai oleh Tim Kerja Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan Laut Lepas Putuh Suadela dengan anggota Ketua Pusat Riset Perikanan - BRIN, perwakilan Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP serta para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebelumnya, di berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga menegaskan komitmennya dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan kualitas tenaga kerja di industri perikanan baik di dalam maupun di luar negeri.
“Dokumen perjanjian bekerja di laut itu mutlak dimiliki awak kapal perikanan. Rekrutmen tenaga kerja tidak boleh asal. Selain itu peningkatan kompetensi juga menjadi salah satu cara untuk memutus rantai perbudakan di kapal perikanan,” tandasnya. (SG-1)