Ekonomi

Tekstil Terpuruk Akibat 'Predatory Pricing', DPR Dorong Revisi UU Antimonopoli

Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto, menyatakan perlunya langkah tegas untuk menghadapi masalah ini melalui revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
12 November 2024
Ilustrasi pekerja pabrik tekstil tengah dengan teknologi modern  di China. Banyak produk tekstil  dari impor China masuk ke Indonesia. (Ist)  

SEKTOR tekstil Indonesia kian terhimpit, dengan banyak perusahaan lokal yang berjuang untuk bertahan di tengah persaingan tak sehat akibat maraknya praktik "predatory pricing" dan banjirnya impor ilegal. 

 

Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto, menyatakan perlunya langkah tegas untuk menghadapi masalah ini melalui revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

 

Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto. (Dok.DPR RI)


Darmadi mengungkapkan, salah satu penyebab utama persaingan usaha yang tidak sehat adalah praktik predatory pricing yang dilakukan oleh pelaku usaha besar.

 

Baca juga: Industri Tekstil Terancam, Komisi VII DPR Dorong Pemerintah Selamatkan Sritex

 

Predatory pricing adalah upaya menekan harga jual hingga di bawah biaya produksi demi mengalahkan pesaing. 

 

Hal ini diperparah oleh tingginya volume impor ilegal, yang tidak hanya merusak industri lokal tetapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi negara. 

 

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM per Juni 2024, impor tekstil ilegal telah merugikan negara hingga Rp6,2 triliun setiap tahunnya.

 

“Jika peraturan ini tidak segera direvisi, predatory pricing akan terus merajalela, mempersulit sektor usaha domestik untuk bertahan, apalagi berkembang,” ujar Darmadi.

 

Baca juga: Anggota DPR Desak Pemerintah Selamatkan Sritex Tanpa Bebani APBN

 

Pernyataan Darmadi disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI dengan Pakar Ekonomi Benny Pasaribu di Gedung DPR, Senin (11/11).

 

Sritex Limbung Dihantam Produk Impor

 

Darmadi menambahkan, fenomena ini telah menghantam keras sektor tekstil, termasuk perusahaan besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).

 

Sritex kini kesulitan bersaing di pasar yang didominasi produk impor dengan harga jauh di bawah standar. 

 

Darmadi menilai upaya penindakan terhadap impor ilegal selama ini belum cukup efektif, yang akhirnya mengancam kelangsungan industri tekstil nasional dan memukul perekonomian rakyat.

 

Tak hanya fokus pada revisi UU Nomor 5 Tahun 1999, Darmadi juga mendesak penguatan peran Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). 

 

“KPPU perlu memiliki kewenangan lebih untuk mengawasi sekaligus menindak praktik-praktik usaha yang merugikan ini, agar tercipta ekosistem usaha yang lebih sehat,” katanya.

 

Perlu Revisi UU No 5 Tahun 1999

 

Dengan adanya periode kepemimpinan baru, Darmadi berharap revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. 

 

Baca juga: Ketua Ikatsi: Jangan Hanya Fokus pada Sritex, Industri Tekstil Lain Juga Berisiko

 

"Ini momen yang tepat untuk memperbaiki regulasi dan melindungi industri dalam negeri dari praktik usaha tak sehat," tegasnya.

 

Revisi ini diharapkan dapat membawa angin segar bagi pelaku usaha kecil hingga besar di Indonesia, khususnya di sektor tekstil yang tengah berjuang untuk bangkit dari tekanan persaingan yang tidak adil. (SG-2)