Ekonomi

Penghapusan Piutang UMKM 2025, Langkah Progresif atau Tantangan Baru?

Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan bahwa jumlah UMKM yang memenuhi syarat penghapusan piutang dapat berubah tergantung pada evaluasi lebih lanjut. 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
24 Desember 2024
Ilustrasi pelaku UMKM. Rencana pemerintah untuk menghapus piutang macet bagi pelaku UMKM pada tahun 2025 menjadi perbincangan hangat. (Ist).

RENCANA pemerintah untuk menghapus piutang macet bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada tahun 2025 menjadi perbincangan hangat. 

 

Kebijakan ini, yang diinisiasi oleh Menteri UMKM Maman Abdurrahman bersama Menteri BUMN Erick Thohir, bertujuan untuk meringankan beban ekonomi 1.097.000 pelaku UMKM yang terjerat kredit macet. 

 

Namun, di balik tujuan mulianya, muncul sejumlah tantangan dan kritik yang perlu menjadi perhatian.

 

Baca juga: Pemkab Jember Siap Fasilitasi Penghapusan Utang Macet UMKM dan Proses Lebih Sederhana

 

Potensi dan Tantangan Implementasi


Kebijakan ini merupakan bagian dari percepatan realisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet pada UMKM. 

 

Dengan dua tahap implementasi yang direncanakan pada Januari dan April 2025, kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan produktivitas UMKM, khususnya di sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan kelautan.

 

Namun, potensi manfaat kebijakan ini disertai dengan tantangan besar. Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan bahwa jumlah UMKM yang memenuhi syarat penghapusan piutang dapat berubah tergantung pada evaluasi lebih lanjut. 

 

Baca juga: Inilah Syarat-syarat Penghapusan Utang untuk UMKM Sesuai PP 47/2024

 

Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan ketidaksesuaian antara kebijakan dan kondisi di lapangan.

 

Banyak UMKM Tak Miliki Struktur Keuangan Formal

 

Anggota Komisi XI DPR, Fathi, dari Fraksi Partai Demokrat, menyoroti persyaratan restrukturisasi kredit sebagai salah satu tantangan utama. 

 

Menurutnya, pendekatan ini terlalu formal dan tidak sesuai dengan karakteristik UMKM di Indonesia yang cenderung tidak memiliki struktur keuangan formal.

 

“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa UMKM sering kali beroperasi secara informal. Kebijakan ini perlu disesuaikan dengan realitas agar dapat benar-benar efektif,” tegas Fathi.

 

Peran Strategis Bank Pembangunan Daerah (BPD)

 

Fathi juga mengusulkan keterlibatan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam implementasi program ini.

 

 Selama ini, BPD memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pelaku UMKM di daerah dan dianggap sebagai mitra strategis yang mampu memastikan kebijakan ini berjalan optimal.

 

“Dengan melibatkan BPD, program ini akan memiliki dampak yang lebih signifikan, terutama bagi UMKM di daerah yang menjadi nasabah utama BPD,” jelasnya.

 

Baca juga: DPR RI Sambut Baik Kebijakan Penghapusan Utang bagi UMKM, Nelayan, dan Petani

 

Keterlibatan BPD dinilai mampu memperluas jangkauan program, mengingat BPD memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan lokal. 

 

Namun, hal ini juga memunculkan tantangan baru, seperti bagaimana memastikan koordinasi antara BPD, bank Himbara, dan pemerintah pusat berjalan efektif.

 

Dampak Jangka Panjang dan Pengawasan

 

Selain manfaat jangka pendek berupa pelonggaran beban kredit macet, kebijakan ini juga diharapkan mendorong UMKM untuk kembali produktif. 

 

Namun, dampaknya terhadap stabilitas lembaga keuangan perlu diperhatikan. 

 

Bank Himbara sebagai pelaksana utama kebijakan ini, misalnya, berpotensi menghadapi beban keuangan tambahan jika tidak ada mekanisme kompensasi yang jelFathi mengingatkan pentingnya pengawasan ketat terhadap implementasi program ini. 

 

“Pengawasan yang baik akan memastikan kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar memberikan manfaat tanpa menimbulkan beban baru bagi lembaga keuangan,” tambahnya.

 

Kesimpulan: Progresif tetapi Memerlukan Penyesuaian

 

Kebijakan penghapusan piutang UMKM pada 2025 adalah langkah progresif yang menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pemulihan ekonomi. 

 

Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada desain implementasi yang sesuai dengan karakteristik UMKM di Indonesia.

 

Keterlibatan BPD dan evaluasi ulang terhadap persyaratan restrukturisasi adalah langkah strategis yang dapat memperkuat efektivitas program. 

 

Di sisi lain, pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini mencapai tujuannya tanpa merugikan lembaga keuangan.

 

Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, kebijakan ini membawa harapan bagi UMKM untuk bangkit, tetapi hanya waktu yang akan membuktikan apakah langkah ini mampu menggerakkan ekonomi tanpa menciptakan masalah baru. (SG-2)