Ekonomi

Pengelolaan Pasar Rakyat, Upaya Memutar Kembali Roda Ekonomi Kerakyatan

Salah satu permasalahan umum yang dihadapi pasar adalah pengelolaan sampah. Di Pasar Tanggul, Kota Solo, sudah ada contoh nyata pengelolaan sampah yang efektif.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
10 Juli 2024
Suasana di Pasar Legi Yogyakarta. (Dok. Sokoguru/Dul Fattah)

KETIKA arus digitalisasi mulai besar-besaran menyentuh segala lini dalam kehidupan kita. Saat itulah putaran roda ekonomi di pasar rakyat melambat. Terlebih saat dunia dilanda pandemi covid-19, inovasi dihadirkan agar masyarakat mampu menjalankan hidupnya seperti biasa tanpa harus bertatap muka. Sejak saat itu lah, pasar rakyat menghadapi perjalanan terjalnya.

 

Bila ditarik mundur, kisah pasar rakyat sungguh romantis. Orang-orang datang untuk mendapatkan berbagai barang baik untuk kebutuhan pangan atau sandangnya. Bahkan tak jarang, antara pembeli dan penjual pun terjadi interaksi yang menjalin tali silaturahmi berkepanjangan. Pasar, saat itu, pusatnya ekonomi kerakyatan.

 

Pada 26 Juni hingga 4 Juli 2024, tim Sokoguru melakukan survei lapangan di pasar dengan lokasi berbeda yakni Pasar Karang Waru dan Pasar Legi, Yogyakarta; Pasar Setono Betek, Kediri; Pasar Reni Jaya Lama, Tangerang Selatan; Pasar Harapan Jaya, Bekasi; dan Pasar Bale Catur, Sleman. 

 

Baca juga: APARSI dan Kemendag Dorong Digitalisasi Pasar Rakyat untuk Ekonomi Kerakyatan

 

Hasil pengamatan di lapangan mengungkapkan  dua permasalahan kompleks yang hulunya terletak pada pengelolaan pasar.

 

Pertama, pengelolaan sampah menjadi permasalahan yang umum ditemui, apalagi bagi pasar di Yogyakarta. Kondisi rawan sampah yang menimpa kawasan tersebut mengakibatkan para pedagang di pasar mengharuskan mereka membawa kembali sampah yang dihasilkan ke rumah masing-masing. 

 

Tak hanya itu, sampah yang dihasilkan pun cenderung bercampur, tidak dipilah-pilah sehingga menciptakan lingkungan kurang nyaman bagi pembeli maupun pedagang. 

 

Baca juga: APARSI: Butuh Peran Pemerintah Atasi Pasar Rakyat yang di Ambang Kepunahan

 

Permasalahan kedua adalah soal fasilitas. Banyak pedagang yang Sokoguru temui mengeluhkan fasilitas pasar kurang memadai yang membuat masyarakat enggan untuk datang ke pasar rakyat. Tak hanya itu, pasar-pasar yang telah direvitalisasi pun ternyata malah membuat pasar semakin sepi. Akhirnya, para pedaganglah yang harus menempuh jalan sunyi menghadapi berbagai persoalan itu. 

 

Belum lagi tidak adanya pelatihan dan aktivasi yang dilakukan, membuat pedagang pasar kian prihatin. Di tengah persoalan tersebut, mereka pun harus berhadapan dengan kehadiran ormas dan preman yang sering kali mengganggu kenyamanan mereka di kala tersendatnya perputaran ekonomi. 

 

Fenomena tersebut telah diamati semenjak masa kepemimpinan Jokowi oleh Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI). Ketua Umum APARSI, Suhendro, menyampaikan, sebanyak 80% dari 9.000 pasar rakyat dalam kondisi  rusak parah. 

 

Baca juga: Pasar Guyub: Event Family-Friendly dengan Misi Memuliakan Sampah

 

"Waktu itu saya diminta Pak Presiden untuk mengelola program untuk pasar di Indonesia. Dari 9.000 pasar rakyat, hampir 80% rusak parah. Kenapa? Karena pemerintah hanya melakukan pembangunan pasar di masa Soeharto melalui program Pasar Inpres,”  jelasnya saat dihubungi Sokoguru, Selasa (9/7).

 

Setelah itu, lanjut Suhendro,  tidak pernah lagi disentuh oleh pemda, sehingga hampir 20-30 tahun bangunannya sudah rusak. “Jadi, permasalahan yang perlu dibenahi adalah infrastruktur dengan menambah fasilitas,” ujarnya.

 

Suhendro mengakui revitalisasi pasar memang dilakukan, tetapi hanya dari sisi fisik tanpa memperhatikan aspek non-fisik seperti pemberdayaan pedagang dan pengelolaan pasar yang baik.

 

Selain perbaikan infrastruktur, pembangunan kapasitas pedagang juga sangat penting. Banyak pedagang yang tidak terlatih dan masih berada di level low middle (menengah ke bawah), sehingga pelayanan kepada pelanggan harus ditingkatkan agar mereka tetap mau datang ke pasar meskipun ada opsi belanja online. 

 

Suhendro menekankan, "Pasar-pasar itu kemudian dibangun kembali, secara fisik sudah bagus, tetapi ada satu yang ketinggalan yaitu pembangunan dari sisi non fisiknya. Bicara pemberdayaan para pedagang dan pengaturan pengelolaan sangat kurang. Kapasitas building tidak ditata dengan serius, mestinya kapasitas pedagang ditingkatkan." 

 

Namun, ia menggaris bawahi bahwa hulu dari permasalahan tersebut terletak dari kapasitas kepala pasar sebagai pimpinan tertinggi dari pasar rakyat itu sendiri. Untuk itu kompetensi kepala pasar sendiri mesti mampu menjawab tantangan pasar kekinian. 

 

“Kepala pasar harus diuji kompetensi. Dia harus punya mental inovasi untuk memikirkan pasar. Fungsi kepala pasar itu sebagai otoritas tertinggi di pasar, harus punya pemahaman kapasitas dan kompetensi yang lebih. Dua tahun lalu saya ditunjuk sebagai ketua tim Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk pengelola pasar. Kita buat kompetensi, 29 hal yang bisa menjadi standar. Salah satunya digitalisasi pasar, bagaimana membuat online untuk pedagang. Program pemberdayaan pedagang dan pasar. Jadi itu yang mesti kita lakukan. Insyaallah bisa hidup,” jelasnya.


 

Kolaborasi Ritel Modern dan Pengelolaan Sampah

Untuk mengatasi masalah pasokan dan harga barang, APARSI bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Kolaborasi itu bertujuan agar pedagang pasar mendapatkan pasokan barang dengan harga lebih murah dari mitra APRINDO. 

 

"APARSI bekerja sama dengan APRINDO, dimana sosialisasi ini gabungan dari ritel-ritel yang ada. Supaya pedagang kita mendapatkan pasokan dari mitra APRINDO. Sehingga pedagang kita mendapat harga lebih murah," imbuh  Suhendro. 

 

Sebagai timbal balik, ritel modern dapat menjual produk pertanian dari pasar, seperti kangkung yang sudah dipaketkan. Langkah ini tidak hanya menguntungkan pedagang pasar tetapi juga membantu mendidik mereka untuk bersaing dengan pasar modern.

 

Salah satu permasalahan umum yang dihadapi pasar adalah pengelolaan sampah. Di Pasar Tanggul, Kota Solo, sudah ada contoh nyata pengelolaan sampah yang efektif. Hampir 80% sampah di pasar tersebut adalah sampah basah. Untuk mengatasi masalah ini, dibuatlah bank sampah di mana pedagang bisa menabung sampahnya dan mendapatkan uang. 

 

"Pedagang senang kalau cari untung, tagline-nya sampah jadi duit. Bagaimana caranya? Dengan membuat bank sampah. 80% sampah basah dan 20% sampah kering, menabung sampahnya kemudian ditimbang dan ditulis. Misalnya 2 kilo sampah kardus, hari ini jadi 5000. Sampah ini nanti oleh pengelolanya akan dijual kepada pengepul. Uang ini akan dibagikan saat mau lebaran," jelas Suhendro. 

 

Selain itu, tambahnya, ada kerja sama dengan PLN untuk mengolah sampah sayur mayur menjadi briket.

 

Untuk memutar kembali roda ekonomi kerakyatan melalui pasar rakyat, diperlukan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan perbaikan infrastruktur, pemberdayaan pedagang, kolaborasi dengan ritel modern, dan pengelolaan sampah yang efektif. Dengan demikian, pasar rakyat dapat kembali menjadi pusat ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. (Fajar Ramadan/Rafqi Sadikin/SG-1)