OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) kembali menjadi sorotan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini ‘Wajar Dengan Pengecualian’ (WDP) terhadap laporan keuangannya tahun 2023.
Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng, tak segan-segan menyatakan kekecewaannya, menyebut opini tersebut sebagai hal yang memalukan.
"Saya agak sedih dengan OJK. Laporan hasil BPK yang saya terima tanggal 3 Mei menyatakan bahwa OJK mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian. Ini sangat memalukan," ungkap Mekeng sebagaimana dikutip situs DPR RI, Kamis (27/6).
Baca juga: BI dan OJK Luncurkan Buku Kajian Inovasi Model Bisnis Pembiayaan Digital UMKM
Pernyataan Mekeng dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI dengan Ketua DK OJK di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6).
Mekeng menekankan bahwa sebagai lembaga negara yang menghimpun uang dari industri serta mengemban tugas pengaturan dan pengawasan, OJK seharusnya tidak mendapatkan opini WDP.
Terlebih lagi, menurut Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), OJK telah masuk dalam rumpun anggaran.
Baca juga: Menlu Retno: Kerja Sama Kemlu, OJK dan Pos Indonesia untuk Perkuat Diplomasi Ekonomi
Politikus Fraksi Partai Golkar ini membandingkan OJK dengan perusahaan yang terdaftar di pasar modal. Perusahaan yang menerima dua kali opini WDP akan terkena penghentian sementara (suspend) dari bursa.
"Penilaian ini bukan dari auditor swasta, melainkan auditor negara. Masalah ini timbul sejak awal pendirian OJK dan tidak pernah diselesaikan oleh beberapa kepemimpinan," kata Mekeng.
Salah satu masalah utama yang menyebabkan opini WDP adalah indikasi kerugian negara sekitar Rp400 miliar untuk sewa gedung yang dianggap tidak pernah ditempati.
Ketika OJK terbentuk, lembaga ini diharuskan keluar dari lingkungan Bank Indonesia (BI) sehingga transaksi sewa gedung pun dilakukan.
Baca juga: Dorong UMKM dan Pariwisata, OJK Gelar Harvesting Gernas BBI dan BBWI di Sumsel
"Dasar opini WDP ini sangat memalukan. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan yang seharusnya mengatur dan mengawasi industri tapi malah tidak akuntabel. Bagaimana kita bisa bicara soal anggaran?" tegas Mekeng.
Legislator asal Nusa Tenggara Timur I ini menekankan bahwa jika terjadi indikasi kerugian negara, harus melibatkan aparat penegak hukum.
Menurutnya, jika OJK tidak menggandeng aparat penegak hukum, pihak lain yang memiliki legal standing bisa mengadukan masalah ini.
"Kita memiliki aparat penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, dan polisi. Mereka bisa diajak konsultasi untuk mendapatkan legal opinion,” jelasnya.
“Namun, OJK tidak melakukan ini, sehingga lembaga yang kita dirikan dengan susah payah menjadi cacat hanya karena kepemimpinan tidak berani mengambil keputusan," lanjut Mekeng.
Mekeng mendorong OJK untuk segera menindaklanjuti temuan BPK dan menyelesaikan masalah yang ada.
Menurutnya, masalah ini tidak boleh berlarut hingga tahun depan dan menyebabkan adanya opini disclaimer.
"Industri kalau salah diuber terus, sementara OJK kalau salah dibiarkan saja,” ucap Mekeng.
“Ini tidak adil. Komisi XI DPR harus mengambil langkah tegas terhadap masalah ini supaya tahun depan tidak ada disclaimer.” kata Mekeng.
“Kalau sampai ada disclaimer, kita juga bertanggung jawab karena membiarkan ini terjadi," geramnya.
Mekeng menyarankan agar laporan ini dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Selain itu, bisa juga diajukan audit dengan tujuan tertentu kepada BPK untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Kritik keras dari anggota DPR ini menunjukkan betapa seriusnya masalah yang dihadapi OJK.
Ke depan, tindakan yang diambil oleh OJK dan Komisi XI DPR RI akan menjadi sorotan utama dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas lembaga keuangan negara ini. (SG-2)