ANGGOTA Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengkritik keras kebijakan pemerintah yang memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang jelas mengatur tata cara pengajuan izin pertambangan.
Pemerintah Langgar UU Minerba
Mulyanto, yang merupakan politikus dari Fraksi PKS, menilai bahwa pemerintah semakin ngawur dalam mengelola sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Baca juga: Di Balik Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan, Kepentingan Siapa yang Dominan?
Dia menuding pemerintah membuat penafsiran sendiri tentang UU Minerba, sehingga mengeluarkan izin secara sembarangan.
"Pak Bahlil (Menteri Investasi) bagi-bagi IUPK untuk ormas. Padahal, kalau kita baca seksama UU Minerba, izin pertambangan itu diajukan badan usaha paling tidak koperasi," jelas Mulyanto.
"Pemerintah akal-akalan mengatur norma bahwa badan usaha yang sahamnya dimiliki ormas secara mayoritas. Itu norma baru yang tidak ada dalam UU," ujar Mulyanto dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Rabu (5/6).
Prioritas IUPK: BUMN/BUMD, Bukan Ormas
Mulyanto menegaskan bahwa berdasarkan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), penawaran IUPK terhadap wilayah pertambangan yang telah dikembalikan kepada negara seharusnya diprioritaskan untuk BUMN/BUMD, bukan untuk badan usaha swasta, apalagi ormas.
"Yang luar biasa lagi, ormas akan diprioritaskan untuk mendapatkan IUPK," ucap Mulyanto.
"Padahal kalau kita baca undang-undang, yang namanya prioritas tegas-tegas itu diberikan kepada BUMN/BUMD. Selain lembaga-lembaga tersebut, IUPK diberikan melalui proses lelang," tambahnya.
Fokus pada Masalah Utama Sektor ESDM
Mulyanto juga mengkritik pemerintah yang dianggap gagal fokus dalam mengurus sektor ESDM.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya lebih memperhatikan masalah utama di sektor ini, seperti produksi minyak dalam negeri yang terus merosot dan jauh dari target jangka panjang 1 juta barel per hari pada tahun 2030.
Baca juga: DPR RI Mengkritisi Impor Migas dari Singapura Terus Meningkat
"Pemerintah terkesan tidak mendukung sektor ini atau setengah hati," ujar Mulyanyo.
"Sementara kondisi makro industri Migas tidak kondusif, karena massifnya gerakan energi baru terbarukan (EBT), investasi yang anjlok, natural declining, pengusaha asing yang sebagian hengkang, juga kelembagaan SKK Migas yang kontet," jelasnya.
Menurut Mulyanto, kondisi ini mengakibatkan target lifting minyak terus merosot, baik dalam pencapaian tahunan maupun realisasinya.
"Boro-boro mendekati 1 juta barel per hari. Ini jadi halusinasi," pungkasnya.
Baca juga: Pertamina Jaga Harga dan Stok BBM tetap Stabil, meski Harga Minyak Dunia Naik
Dengan kondisi sektor ESDM yang memprihatinkan, Mulyanto berharap pemerintah dapat segera memperbaiki kebijakan dan fokus pada isu-isu krusial yang mempengaruhi industri migas dan pertambangan nasional.
Kebijakan yang tidak sesuai dengan UU Minerba, seperti pembagian IUPK kepada ormas, dianggap hanya akan menambah masalah dalam sektor yang sudah menghadapi banyak tantangan. (SG-2)