Editorial

Di Balik Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan, Kepentingan Siapa yang Dominan?

Pemberian izin tambang kepada ormas yang berafiliasi dengan kelompok politik tertentu dapat menciptakan ketergantungan yang berbahaya dan mengarahkan sumber daya negara untuk kepentingan politik semata. 


By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
06 Juni 2024
Ilustrasi. Melalui PP No 25 Tahun 2025, membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang mineral dan batu bara. (ist)

PEMERINTAH kembali membuat gebrakan kontroversial. Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
 

 

Melalui PP No 25 Tahun 2025, membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang mineral dan batu bara. 
 

 

Langkah ini, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021, mengundang berbagai reaksi dari masyarakat dan pemangku kepentingan.
 

 

Kebijakan yang Undang Tanda Tanya
 

 

Di satu sisi, kebijakan ini tampak seperti upaya mulia untuk memberdayakan ormas keagamaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

 

Baca juga: DPR RI Mengkritisi Impor Migas dari Singapura Terus Meningkat
 

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menggarisbawahi bahwa ormas-ormas ini memiliki sayap bisnis yang mampu mengelola usaha secara profesional. 
 

 

Dengan mengalihkan peran ke sayap bisnis ini, pemerintah berharap ormas tidak lagi bergantung pada pengajuan proposal demi proposal untuk pendanaan kegiatan mereka.
 

 

Namun, apakah kebijakan ini benar-benar dilandasi oleh niat murni untuk kesejahteraan masyarakat, ataukah ada agenda lain yang tersembunyi? 
 

 

Memberikan izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan menimbulkan pertanyaan besar tentang kapabilitas dan integritas dalam mengelola sumber daya alam yang begitu penting.

 

Baca juga: Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, DPR Akan Lakukan Audit Investigasi
 

 

Tantangan Kapabilitas dan Risiko Lingkungan
 

 

Pengelolaan tambang membutuhkan keahlian teknis dan manajerial yang tinggi, serta pemahaman mendalam tentang dampak lingkungan dan sosial yang mungkin terjadi. 
 

 

Banyak ormas keagamaan memiliki pengalaman minim dalam industri ini, sehingga kebijakan ini tampaknya lebih berisiko memperburuk kerusakan lingkungan daripada memberikan manfaat nyata. 
 

 

Apalagi, sejarah telah mengajarkan kita bahwa pengelolaan tambang yang buruk dapat menyebabkan bencana ekologis dan sosial yang serius.
 

 

Politisasi Sumber Daya Alam
 

 

Keputusan ini juga membuka peluang bagi politisasi sumber daya alam.

 

Pemberian izin tambang kepada ormas yang berafiliasi dengan kelompok politik tertentu dapat menciptakan ketergantungan yang berbahaya dan mengarahkan sumber daya negara untuk kepentingan politik semata. 

 

Baca juga: DPR RI: Pasokan Batu Bara Besar Bisa Jadi Solusi Atasi Krisis Energi Nasional
 

 

Bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kebijakan ini justru bisa mengubah sumber daya alam menjadi alat transaksi politik.
 

 

Transparansi dan Akuntabilitas yang Dipertanyakan
 

 

Transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian izin ini patut dipertanyakan. Bagaimana proses seleksi ormas yang mendapatkan izin? 
 

 

Apakah ada mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa pengelolaan tambang dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang berlaku? 
 

 

Tanpa jawaban yang memadai, kebijakan ini berisiko besar menjadi ladang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
 

 

Respons Beragam, Kekhawatiran Nyata
 

 

Pujian dari beberapa tokoh, seperti Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas yang melihatnya sebagai peluang pendapatan baru untuk ormas, tidak boleh membutakan kita dari potensi dampak negatif yang lebih besar. 
 

 

Sementara Muhammadiyah, melalui Abdul Mu'ti, menyatakan akan mempertimbangkan penawaran pemerintah dengan hati-hati, menandakan kehati-hatian yang bijaksana dalam menghadapi kebijakan yang penuh risiko ini.
 

 

Lebih dari sekadar apresiasi atau kehati-hatian, kritik dari aktivis lingkungan seperti Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia perlu mendapat perhatian serius. 
 

 

Kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa memperparah kerusakan lingkungan dan menjadikan sumber daya alam sebagai alat transaksi politik adalah isu yang tidak boleh diabaikan.
 

 

Kepentingan Siapa yang Dilayani?
 

 

Pada akhirnya, kebijakan ini harus dilihat dengan skeptis. Alih-alih buru-buru menganggapnya sebagai terobosan, kita harus bertanya: kepentingan siapa yang sebenarnya dilayani oleh pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan? 
 

 

Apakah benar untuk kesejahteraan masyarakat atau hanya untuk keuntungan segelintir pihak?
 

 

Indonesia memerlukan kebijakan yang mengedepankan keberlanjutan dan keadilan sosial, bukan yang justru membuka peluang bagi kerusakan dan ketidakadilan. 
 

 

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap langkah diambil dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat luas, bukan hanya keuntungan sesaat atau kepentingan politik. (SG-2)