Editorial

Selamatkan Batik: Perjuangan Koperasi Lokal di Tengah Gempuran Impor

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
17 Desember 2024
Wamenkop Ferry Juliantono melakukan audiensi kepada para Pengurus SDK, di Kooken Kafe, Kampung Kauman, Solo, Jumat (13/12). (Ist/Kemenkop)

INDUSTRI batik, yang sudah lama menjadi kebanggaan dan identitas budaya Indonesia, kini berada di persimpangan jalan. 

 

Di satu sisi, para perajin batik terus berupaya menjaga tradisi dan kualitas produk lokal. 

 

Namun di sisi lain, derasnya serbuan produk impor, baik berupa batik printing maupun pakaian bekas, semakin menekan industri tekstil dalam negeri, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang batik.

 

Baca jugaHari Batik Nasional: Kebanggaan yang Terancam oleh Invasi Batik Impor

 

Wacana perlindungan terhadap industri batik dalam negeri kembali mengemuka setelah Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop), Ferry Juliantono, menegaskan dukungannya terhadap Koperasi Syarikat Dagang Kauman (SDK), koperasi batik terbaik di Surakarta, Jawa Tengah. 

 

Ferry dengan tegas menyebut perlunya intervensi pemerintah melalui kebijakan strategis, mulai dari pengetatan impor hingga pembentukan regulasi khusus yang melindungi industri tekstil nasional.

 

Hal ini bukan sekadar angin lalu. Nyatanya, Indonesia sampai saat ini belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Industri Tekstil. 

 

Kekosongan hukum inilah yang membuka celah masuknya produk impor dengan mudah, baik itu kain batik printing asal luar negeri maupun pakaian bekas yang merusak pasar domestik. 

 

Baca juga: Batik Garutan: Warisan Budaya yang Tetap Eksis di Tengah Arus Globalisasi

 

Padahal, batik adalah lebih dari sekadar produk; ia adalah warisan budaya yang sarat nilai sejarah dan filosofi.

 

Batik Lokal vs Batik Printing: Perang yang Tak Berimbang

 

Realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang nyata. Batik tulis dan cap, yang dibuat dengan proses panjang dan rumit, harus bersaing dengan produk batik printing impor yang jauh lebih murah. 

 

Perajin batik lokal bukan hanya berhadapan dengan tantangan produksi, tetapi juga akses pasar dan keterbatasan modal.

 

Kehadiran Koperasi SDK menjadi secercah harapan di tengah kelesuan ini. 

 

Baca juga: Batik Karya Penyandang Disabilitas Pukau Sekda Jabar Herman Suryatman 

 

Dengan berbagai inisiatif, seperti pendirian showroom bersama untuk membantu perajin memasarkan produk, SDK berhasil menunjukkan bahwa koperasi memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem ekonomi berbasis gotong royong. 

 

Lebih dari itu, langkah Kemenkop untuk memesan seragam batik dari SDK menunjukkan komitmen konkret pemerintah dalam mendukung koperasi lokal.

 

Namun, apakah langkah ini cukup? Tentu tidak. Persoalan utama yang menghantui industri batik lokal adalah kebijakan impor yang belum berpihak pada produsen dalam negeri. 

 

Jika pemerintah serius ingin melindungi industri tekstil dan batik, maka langkah-langkah strategis perlu diambil dengan segera.

 

Urgensi Kebijakan Perlindungan Tekstil

 

Rencana Kementerian Koperasi untuk mendorong RUU Perlindungan Industri Tekstil adalah langkah penting yang patut diapresiasi. 

 

Namun, tanpa dukungan dari semua pihak, termasuk DPR dan kementerian terkait, upaya ini hanya akan berhenti di atas kertas.

 

Pemerintah perlu bergerak lebih cepat dan tegas dalam mengatasi tiga masalah utama:

 

  1. Regulasi Impor: Produk batik printing dan pakaian bekas impor harus dibatasi dengan regulasi yang ketat. Tidak ada lagi alasan untuk membiarkan pasar dibanjiri produk murah yang merugikan perajin lokal.

 

  1. Akses Pembiayaan: Perajin batik, khususnya yang tergabung dalam koperasi, membutuhkan dukungan pembiayaan yang lebih mudah dan terjangkau. Langkah ini bisa diperkuat melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan dukungan dari pemerintah daerah.

 

  1. Penguatan Infrastruktur Pemasaran: Inisiatif seperti showroom bersama Koperasi SDK perlu direplikasi di berbagai daerah. Pemerintah harus membantu memasarkan produk batik melalui digitalisasi dan promosi yang lebih masif.

 

Koperasi: Pilar Ekonomi Kerakyatan yang Harus Diperkuat

 

Keberhasilan Koperasi SDK dalam menjaga industri batik lokal adalah bukti bahwa koperasi bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan ekonomi rakyat. 

 

Baca juga: Bandung Rayakan Warisan Budaya dengan Pameran Batik 'Pusaka Puspa Karya Nusantara'

 

Dengan semangat gotong royong, koperasi mampu mengatasi keterbatasan modal, akses pasar, hingga pelatihan keterampilan.

 

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengembangkan model koperasi serupa di daerah lain. 

 

Koperasi harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, baik melalui kebijakan afirmatif maupun program pendampingan yang berkelanjutan.

 

Langkah Kemenkop untuk mengawinkan suplai kain dengan koperasi batik patut diapresiasi. 

 

Dengan akses bahan baku yang lebih murah, perajin batik bisa meningkatkan produksi sekaligus daya saing mereka di pasar.

 

Batik, Kebanggaan yang Harus Dipertahankan

 

Industri batik bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas bangsa. 

 

Ketika batik lokal kalah bersaing dan perajin mulai gulung tikar, kita bukan hanya kehilangan produk ekonomi, tetapi juga warisan budaya yang tak ternilai harganya.

 

Pemerintah, DPR, dan seluruh elemen masyarakat harus bekerja sama untuk melindungi industri batik. 

 

Regulasi yang berpihak, pembatasan impor, serta dukungan terhadap koperasi lokal adalah kunci untuk menyelamatkan industri ini.


 

Jika tidak, maka bukan tidak mungkin generasi mendatang hanya akan mengenal batik sebagai produk impor belaka.

 

Seperti yang ditunjukkan oleh Koperasi SDK, perjuangan untuk mempertahankan batik bukanlah sekadar bisnis, tetapi juga perjuangan menjaga jati diri bangsa. 

 

Sebuah perjuangan yang hanya bisa dimenangkan jika kita semua, dari pemerintah hingga rakyat, berdiri di barisan yang sama.

 

Batik bukan hanya kain. Batik adalah kita.! (SG-2)